Jawaban:
Berdasarkan pertanyaan Saudara, kami mengambil asumsi bahwa hibah tersebut adalah hibah semasa hidup, dan bukan hibah wasiat. Karena Saudara menanyakan hibah berdasarkan hukum Barat dan hukum Islam, maka kami akan menjelaskan berdasarkan ketentuan hibah menurut hukum Barat yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”) dan ketentuan hibah menurut hukum Islam yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam.
a. Hibah menurut hukum perdata Barat
Pengertian hibah menurut hukum perdata Barat disebutkan dalam Pasal 1666 KUHPer:
Penghibahan adalah suatu persetujuan dengan mana seorang penghibah menyerahkan suatu barang secara cuma-cuma, tanpa dapat menariknya kembali, untuk kepentingan seseorang yang menerima penyerahan barang itu. Undang-undang hanya mengakui penghibahan-penghibahan antara orang-orang yang masih hidup.
Pelaksanaan hibah harus dilakukan dengan akta notaris kecuali pemberian hadiah dari tangan ke tangan secara langsung (Pasal 1682 KUHPer).
Berdasarkan ketentuan tersebut, prinsipnya benda yang sudah dihibahkan
tidak dapat ditarik kembali menjadi hak milik pemberi hibah. Akan
tetapi, untuk kepentingan kewarisan, benda yang telah dihibahkan dapat
“diperhitungkan kembali” nilainya ke dalam total harta peninggalan
seolah-olah belum dihibahkan (lihat Pasal 916a sampai Pasal 929 KUHPer)
Ketentuan ini bermaksud agar jangan sampai hibah yang dahulu pernah
diberikan oleh pewaris, mengurangi bagian mutlak yang seharusnya
dimiliki oleh ahli waris yang disebut legitime portie.
Apabila harta yang dimiliki
pewaris saat meninggal tidak cukup untuk membayar utang, maka bagian
warisan untuk ahli waris yang bukan legitime portie, contohnya
istri, dapat diambil. Apabila masih belum cukup maka diambil dengan cara
mengurangkan besarnya wasiat jika ada wasiat. Jalan terakhir adalah
dengan mengurangkan dari bagian hibah yang pernah diberikan pewaris
sebelum meninggal. Hibah tersebut diperhitungkan kembali kemudian
dikurangkan. Urutan hibah yang diperhitungkan kemudian dikurangkan
tersebut dihitung dari hibah terdekat dari kematian pewaris sebagaimana
diatur dalam Pasal 924 KUHPer:
“Segala hibah
antara yang masih hidup, sekali-kali tidak boleh dikurangi, melainkan
apabila ternyata, bahwa segala barang-barang yang telah diwasiatkan, tak
cukup guna menjamin bagian mutlak dalam suatu warisan. Apabila kendati
itu masihlah harus dilakukan pengurangan terhadap hibah-hibah antara
yang masih hidup, maka pengurangan ini harus dilakukan mulai dengan
hibah yang terkemudian, lalu dari yang ini ke hibah yang lebih tua dan
demikian selanjutnya.”
Benda
yang telah dihibahkan tidak dapat ditarik kembali oleh pemberi hibah.
Untuk urusan kewarisan hibah yang pernah diberikan pewaris dapat
diperhitungkan kembali ke dalam harta peninggalan. Dalam hukum waris
perdata barat, ahli waris dapat melakukan penolakan sebagai ahli waris.
Mengutip artikel Jika Utang Pewaris lebih besar dari Harta Warisan, menurut Pasal 833 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”) yang mengatur “Para ahli waris, dengan sendirinya karena hukum, mendapat hak milik atas semua barang, semua hak dan semua piutang orang yang meninggal.”
Namun, Pasal 1045 KUHPer menyebutkan “Tiada seorang pun diwajibkan untuk menerima warisan yang jatuh ke tangannya.”.
Berarti ahli waris yang tidak mau menanggung utang milik pewaris, dapat
melakukan penolakan sebagai ahli waris. Penolakan sebagai ahli waris
harus terjadi dengan tegas melalui suatu pernyataan yang dibuat di
panitera Pengadilan Negeri di daerah hukum tempat terbukanya warisan (Pasal 1057 KUHPer).
b. Hibah menurut hukum Islam
Pengertian hibah menurut Pasal 171 huruf g Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam
(“KHI”) adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan
dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki. Hibah dalam hukum Islam juga tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah orang tua kepada anaknya (Pasal 212 KHI).
Hibah orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan (Pasal 211 KHI). Sekedar untuk menambah informasi, Saudara dapat membaca artikel Hibah Orang Tua kepada Anak-Anaknya dan Kaitannya dengan Waris.
Mengenai kewajiban ahli waris untuk membayar utang pewaris, dalam Pasal 175 KHI
disebutkan bahwa menyelesaikan utang-utang pewaris merupakan kewajiban
ahli waris terhadap pewaris, tetapi kewajiban ahli waris hanya terbatas
pada harta peninggalan pewaris. Dengan kata lain, ahli waris tidak wajib
membayarkan utang-utang pewaris dengan harta pribadinya apabila seluruh
harta pewaris telah habis untuk membayar utang.
Jadi,
dalam hukum Islam hibah orang tua kepada anaknya dapat ditarik kembali.
Hibah yang pernah diberikan orang tua kepada anak dapat diperhitungkan
sebagai warisan.
Mengenai
jangka waktu, kami kurang memahami maksud jangka waktu yang mana.
Apabila yang Saudara maksud adalah jangka waktu dapat ditariknya lagi
benda yang telah dihibahkan, maka berdasarkan KUHPer tidak ada jangka
waktu dan tidak bisa dilakukan karena benda yang telah dihibahkan tidak
bisa ditarik kembali, sedangkan untuk hukum Islam hanya hibah orang tua
kepada anak yang dapat ditarik kembali dan tidak disebutkan sampai kapan
jangka waktunya.
Apabila pewaris yang beragama Islam ingin menggunakan cara perhitungan waris perdata Barat, ia dapat mengungkapkan kehendak tentang hal tersebut. Jika tidak ada pernyataan kehendak dari pewaris yang demikian, maka para ahli waris dapat bersepakat menentukan cara pembagian harta warisan.
Terlepas
dari itu, menurut KHI para ahli waris dimungkinkan untuk melakukan
pembagian warisan berdasarkan kesepakatan ahli waris. Hal tersebut
diatur dalam Pasal 183 KHI yang berbunyi sebagai berikut:
“Para
ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta
warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya.”
Demikian yang kami ketahui, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
4. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter sumber@klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar