Surat Keterangan Waris dan Beberapa Permasalahannya
1. S.K.W. SEBAGAI BAGIAN DARI HUKUM WARIS
Semua
yang pernah mengenyam pendidikan hukum pasti pernah mengalami, betapa
mata kuliah Hukum Waris merupakan salah satu mata kuliah yang paling
sulit untuk dikuasai. Mengingat, pembuatan Surat Keterangan Waris --
selanjutnya disingkat S.K.W. -- merupakan pelaksanaan dari ketentuan
waris, kiranya sudah bisa diduga, bahwa pembuatan S.K.W. bukan merupakan
pekerjaan mudah. Istilah S.K.W. disini merupakan terjemahan dari
“Verklaring van Erfrecht” sebagai yang dimaksud dalam Ps 38 U.U.J.N.
Belanda (Oe Siang Djie, 1991).
Hukum
Waris berkaitan dengan masalah harta, dan kita semua tahu, bahwa
masalah harta warisan merupakan issue yang sangat peka, yang dalam
kehidupan sehari-hari sering menimbulkan masalah dalam keluarga. Bisa
dibayangkan, bahwa pembuatan S.K.W. adalah pekerjaan yang mengandung
banyak resiko dan karenanya perlu dikerjakan dengan penuh kehati-hatian.
Atas
dasar itu, kita semua perlu untuk mencermati teknik pembuatan S.K.W.
Pada kesempatan ini kami mengajak anda sekalian untuk bersama-sama
membahas beberapa segi dari S.K.W., dengan pengharapan kita bersama-sama
akan memperoleh gambaran yang lebih baik mengenai liku-liku S.K.W.
2. S.K.W. BAGI MEREKA YANG TUNDUK PADA B.W.
Mengenai
siapa ahli-waris dari pewaris tertentu, ditetapkan oleh hukum yang
berlaku bagi pewaris. Dalam praktek, untuk membuktikan kedudukan
seseorang sebagai ahli-waris, diperlukan suatu dokumen yang menjabarkan
ketentuan hukum waris tentang hal itu, yang dapat dipakai sebagai
pegangan oleh para ahli-waris maupun pejabat-pejabat, yang berkaitan
dengan pelaksanaan hukum waris. Surat seperti itu disebut S.K.W. Bisa
diduga, bahwa S.K.W. merupakan dokumen yang sangat penting dan
dibutuhkan oleh para ahli-waris pada umumnya. Namun demikian pada
kesempatan ini kita akan membatasi diri dengan hanya membahas S.K.W.
yang berlaku bagi mereka yang tunduk pada B.W. saja, karena pembuatan
S.K.W. untuk warga yang lain bukan menjadi kewenangan Notaris (vide
Tuntunan bagi P.P.A.T. dikeluarkan oleh Dirjen Agraria Depdagri, 1982).
S.K.W.
merupakan akta yang menetapkan siapa ahli-waris pada saat pewaris
meninggal dunia dan berapa hak bagiannya atas warisan. S.K.W. pada
umumnya dibuat atas permintaan satu atau beberapa diantara para
ahli-waris. Sekalipun S.K.W. mendapat pengakuan dalam undang-undang
maupun yurisprudensi, namun ternyata tidak ada suatu ketentuan umum yang
mengatur bentuk dan isi S.K.W. S.K.W. yang dibuat oleh notaris di
Indonesia, dibuat dengan mengikuti jejak para notaris seniornya, yang
pada gilirannya mengikuti jejak dari para Notaris di Negeri Belanda (Oe
Siang Djie, 1991).
Di
Negeri Belanda, dalam Ps. 38 Undang Undang Jabatan Notaris ada
disebutkan, bahwa Verklaring van Erfrecht termasuk dalam kelompok akta
yang dikecualikan dari kewajiban pembuatan secara Notariil dalam bentuk
minut. Walaupun seperti sudah disebutkan diatas, bahwa tidak ada
ketentuan umum yang mengatur tentang S.K.W., tetapi ternyata ada suatu
undang-undang, yang kebetulan mengandung suatu ketentuan yang mengatur
peralihan hak atas obligasi negara yang terdaftar dalam buku besar dari
pemiliknya kepada para ahli-warisnya (Wet op de Grootboek der Nasionale
Schul S. 1913 - 105), yang dalam pasal 14 ayat (2) mengatakan, bahwa
untuk itu harus dibuat suatu S.K.W. (Verklaring van Erfrecht), dalam
mana disebutkan a.l. pada pokoknya Verklaring van Erfrecht berisi
tentang :
- siapa pewarisnya, kapan meninggal dan dimana domisili terakhirnya.
- Siapa ahli-waris Pewaris dan berapa hak bagian masing-masing.
- Ada tidaknya wasiat dan kalau ada, perlu ada penyebutannya secara rinci isi wasiat tersebut.
- Hubungan kekeluargaan antara Pewaris dan para ahli-waris.
- Pembatasan-pembatasan kewenangan terhadap para ahli waris kalau ada.
- Dibuat in originali.
Pembuatan
S.K.W. oleh Notaris dengan mendasarkan pada ketentuan Wet op de
Grootboek der Nasionale Schul seperti itu, walaupun tidak didasarkan
atas suatu ketentuan umum yang secara khusus mengaturnya, tetapi karena
telah dilaksanakan untuk waktu yang lama dan diterima, maka sekarang
dapat dikatakan, bahwa praktek pembuatan S.K.W. seperti itu sudah
menjadi hukum kebiasaan (Ting Swan Tiong, 1988). Jadi dari suatu
ketentuan khusus telah ditarik menjadi suatu ketentuan umum.
Berdasarkan
apa yang disebutkan diatas, maka S.K.W. yang dibuat oleh Notaris pada
umumnya berbentuk pernyataan sepihak dari Notaris, dengan mendasarkan
kepada keterangan-keterangan dan bukti-bukti (dokumen-dokumen) yang
disampaikan atau diperlihatkan kepadanya, berisi data-data sebagai yang
disyaratkan oleh Wet op de Grootboek der Nasionale Schul tersebut di
atas.
Yang
perlu sekali diperhatikan adalah, bahwa S.K.W. menetapkan siapa ahli-
waris “pada saat pewaris mati” (dan berapa hak bagian para ahli-waris),
bukan siapa ahli- waris pada saat S.K.W. dibuat. Kedua moment tersebut
bisa memberikan hasil perhitungan yang sangat berbeda, sebab seringkali
S.K.W. baru dibuat sekian lama sesudah pewaris meninggal. Sangat
berbeda, sebab seringkali S.K.W. baru dibuat sekian lama sesudah pewaris
meninggal. Kalau sementara antara waktu matinya pewaris -- sebut saja X
-- dengan saat pembuatan S.K.W., ada diantara para ahli-waris -- sebut
saja C -- yang meninggal dunia, maka pada waktu pembuatan S.K.W. dari X,
hak bagian C tetap dihitung, bahkan sekalipun C meninggal dunia tanpa
menikah. Penulis pernah menemukan S.K.W. yang dalam kasus seperti
tersebut di atas, langsung saja membagikan hak bagian C kepada sesama
ahli-waris X.
Seharusnya
hak-bagian C tetap dihitung dan hak-bagian tersebut bercampur dengan
harta pribadinya dan menjadi harta warisan C. Ini menjadi hak bagian
ahli-waris C. Untuk C nantinya ada kemungkinan juga dibuatkan S.K.W.
tersendiri. Hasil perhitungan cara yang pertama dengan cara yang kedua
bisa sangat berbeda, apalagi kalau C ternyata meninggalkan wasiat.
3. PRINSIP PEWARISAN MENURUT B.W.
Di
dalam B.W. berlaku prinsip, bahwa dengan matinya pewaris, maka si mati
berhenti sebagai persoon, dan semua hak dan kewajibannya beralih kepada
ahli-warisnya (Ps 833 jo Ps. 955 B.W.). Sekalipun redaksi pasal-pasal
tersebut hanya berbicara tentang aktiva warisan saja, namun -- di dalam
doktrin -- dari pasal-pasal tersebut ditafsirkan, bahwa yang beralih
adalah baik aktiva maupun pasiva warisan. Orang menggambarkannya dengan
ungkapan le mort saisit le vif, si ahli waris melanjutkan persoon si
mati (A.Pitlo, 1955, hal 12). Dengan itu berarti bahwa ahli-waris
mengoper warisan dengan alas hak umum (M.J.A. v. Mourik, 1985, hal 12).
Pada asasnya yang beralih adalah seluruh kekayaan Pewaris -- semua
hak-hak dan kewajiban-kewajiban Pewaris dalam lapangan hukum kekayaan --
untuk mana seringkali digunakan istilah “boedel warisan”. Boedel
warisan meliputi, baik hak-hak maupun kewajiban-kewajiban Pewaris dalam
lapangan Hukum Kekayaan. Perkecualiannya ada, dimana hak-hak yang
berasal dari Hukum Keluarga juga diwaris oleh ahli-waris (Ps. 256 jo Ps.
258 K.U.H.Perdata).
Dikatakan,
bahwa peralihan itu terjadi demi hukum, yang berarti, bahwa pada
asasnya semuanya terjadi dengan sendirinya, tanpa si pewaris dan si ahli
waris harus melakukan suatu tindakan atau mengambil sikap tertentu.
Sudah cukup kalau pewarisnya mati dan orang yang terpanggil untuk
mewaris masih hidup, dengan perkecualian sebagai yang disebutkan dalam
Ps. 2 B.W. (P. Scholten-J. Wiarda, 1947, hal. 12).
Prinsip
seperti tersebut diatas, kalau dilaksanakan secara (absolut) konsekwen,
bisa menimbulkan ketidak-adilan yang besar. ketidak-adilan bagi
ahli-waris bisa muncul, kalau warisannya ternyata negatif, yaitu
hutang-hutang warisan lebih besar dari aktivanya. Demikian juga
ketidak-adilan muncul, kalau terjadi, bahwa orang, yang seandainya ia
masih hidup ketika pewaris mati, adalah ahli waris, dan ada meninggalkan
keturunan. Berpegang pada asas tersebut di atas, maka si mati maupun
keturunannya tidak mewaris dari pewaris. Bukankah mestinya patut sekali
kalau keturunan dari orang seperti itu diberikan juga hak untuk mewaris
?
Terhadap
kemungkinan munculnya ketidak-adilan pada peristiwa sebagai yang
disebut pertama, B.W. ternyata ada memberikan kesempatan kepada
ahli-waris untuk menentukan sikapnya terhadap warisan yang terbuka,
yaitu menerima atau menolak warisan, sedang untuk menghindarkan
munculnya ketidak-adilan pada peristiwa yang disebut kedua, diciptakan
lembaga penggantian tempat.
Kalau
ahli-waris ybs. menerima warisan, maka semua hak dan kewajiban pewaris,
untuk suatu bagian sebanding tertentu -- sesuai dengan hak-bagian dalam
pewarisan -- beralih kepada dirinya. Hak bagiannya atas harta warisan
tersebut bercampur dengan harta pribadinya. Dalam hal hutang warisan
lebih besar daripada aktivanya, maka kekurangannya -- untuk suatu bagian
yang sebading dengan haknya dalam pewarisan - ditanggung/dibayar dengan
harta pribadi ahli-waris ybs.
Yang perlu dicermati adalah, bahwa dalam hukum waris B.W. berlaku asas :
- Menolak warisan berarti menolak seluruh warisan sebagai satu kesatuan
- Mereka yang sudah menerima warisan tidak bisa menolak lagi.
Untuk menghindari diri dari kemungkinan kerugian seperti itu, ada tersedia lembaga :
- menerima secara beneficiair
- menolak warisan
Perkecualian -- dalam hal-hal yang sangat terbatas -- diatur dalam Ps. 1056 dan Ps. 1065 B.W.
Ahli-waris
yang menerima warisan secara beneficiair hanya mau menerima warisan,
kalau aktivanya lebih besar dari pasivanya. Untuk menentukan sikap
seperti itu, maka aktiva dan pasiva warisan harus didaftar. Itulah
sebabnya, bahwa penerimaan warisan secara beneficiair diseut juga
menerima warisan dengan hak utama untuk mengadakan pencatatan boedel.
Terhadap
ahli-waris yang menerima warisan secara beneficiair, harta warisan yang
jatuh kepada ahli-waris ybs., untuk sementara tidak bercampur dengan
harta pribadinya.
Mereka
yang menolak warisan dianggap tidak pernah menjadi ahli-waris. Ia
tidak menerima apa-apa dari warisan, tetapi ia juga tidak menanggung
beban-beban warisan. Pada asasnya, mereka yang telah menolak warisan
tidak bisa menerimanya lagi (vide perkecualian dalam Ps. 1056 B.W.)
4. LEGITIEME PORTIE
Hukum
waris B.W. berangkat dari prinsip, bahwa adalah tidak adil, kalau ahli
waris tertentu, yang mempunyai kedekatan hubungan-darah dengan pewaris
sampai derajat tertentu, bisa disingkirkan sama sekali dari kedudukannya
sebagai ahli-waris atau penerimaannya dikecilkan sekali. Cara-ara yang
bisa ditempuh oleh pewaris, untuk menyingkirkan ahli-waris tertentu
dari pewarisan, adalah dengan mengambil tindakan-tindakan, baik semasa
hidupnya maupun melalui wasiat, sedemikian rupa sehingga sisa warisan
menjadi kosong atau menjadi sangat minim.
Guna
mengatasi tindakan pewaris seperti itu, maka undang-undang memberikan
kepada ahli-waris tertentu hak waris mutlak / legitieme portie, yang
berupa suatu hak-bagian sebanding tertentu dari haknya menurut
undang-undang (hak waris ab intestaat-nya), yang atas tuntutannya harus
diberikan kepada ahli-waris ybs. (Ps. 913 B.W.).
Yang
penting untuk diperhatikan adalah, bahwa L.P. itu baru diberikan kalau
dituntut oleh ahli-waris legitiemaris. L.P. merupakan hak, dan
karenanya si pemilik hak bebas untk menggunakannya atau tidak. Karena
L.P. merupakan suatu bagian sebanding tertentu dari hak waris ab
intestaat, maka legitiemaris baru mempunyai kepentingan untuk
menggunakan haknya atas legitieme portie, kalau ia memperhitungkan akan
menerima kurang dari L.P.nya.
5. STATUS SEBAGAI AHLI WARIS
Dengan
demikian, maka seorang yang menurut hukum waris berhak atas warisan,
belum tentu berkedudukan sebagai ahli-waris, karena kedudukannya sebagai
ahli-waris digantungkan kepada sikapnya terhadap warisan yang terbuka.
Kalau ybs. menerima warisan, maka ybs. berkedudukan sebagai ahli-waris,
dan ybs. mengoper semua hak dan kewajiban pewaris, sudah tentu untuk
bagian yang sebanding dengan haknya berdasarkan hukum waris.
Kesimpulan
kita, kalau semula dikatakan, bahwa dengan matinya Pewaris, warisan
menjadi hak para ahli-waris menurut undang-undang dan/atau berdasarkan
wasiat, maka kemudian ternyata, bahwa terhadap warisan yang terbuka,
mereka (para ahli-waris) masih diberikan kesempatan untuk menyatakan
sikapnya, dengan konsekwensi bisa menjadi ahli waris, kalau ia menerima
atau bukan ahli-waris, kalau ia menolak.
Dengan
demikian, maka mereka yang dalam undang-undang (atau berdasarkan
wasiat) disebut sebagai ahli-waris, sebenarnya baru benar-benar menjadi
ahli-waris, kalau ia /mereka telah menerima warisan yang jatuh
kepadanya. Dengan demikian mereka-mereka yang dalam undang-undang atau
wasiat disebut sebagai ahli-waris, sebenarnya adalah mereka-meraka yang
baru terpanggil untuk mewaris. Apakah mereka nantinya benar-benar
berkedudukan sebagai ahli-waris, bergantung dari sikap mereka terhadap
warisan yang terbuka baginya.
Kita
melihat, bahwa istilah “ahli-waris” dipakai, baik untuk mereka yang
berdasarkan undang-undang terpanggil untuk mewaris suatu warisan yang
terbuka, maupun untuk menunjuk mereka yang mengoper seluruh atau suatu
bagian sebanding tertentu dari warisan, atau d.p.l. mereka yang sudah
mengambil sikap untuk menerima warisan.
Penerimaan
suatu warisan bisa terjadi baik dengna suatu pernyataan tegas-tegas
atau secara diam-diam, yaitu disimpulkan dari tindakan dan sikapnya.
Kita sekarang tahu, bahwa suatu tindakan atau sikap, yang dianggap
sebagai tindakan atau sikap menerima, ada kemungkinan sama sekali tidak
dimaksudkan oleh si pelaku (atau si pengambil sikap) sebagai suatu
pernyataan menerima warisan. Yang namanya anggapan tidak selalu harus
sesuai dengan kenyataan yang ada.
Kesimpulan
kita, mereka yang menurut hukum mempunyai hak untuk mewaris harus
berhati-hati dalam tindakan atau sikapnya terhadap warisan, sebab
konsekwensinya bisa sangat merugikan.
6. PERMASALAHAN (1)
Kalau
dalam S.K.W., Notaris menetapkan, bahwa orang (-orang) tertentu adalah
ahli-waris dari pewaris tertentu, untuk seluruh atau suatu bagian
sebanding tertentu dari warisan, apakah hal itu berarti, bahwa
ahli-waris (ahli-waris) tersebut sudah mengambil sikap menerima warisan ?
Dengan konsekwensinya harus mengoper hak maupun kewajiban pewaris ?
Bukankah ybs. dalam S.K.W. sudah dinyatakan sebagai “ahli-waris”.
Karena
dalam pembuatan S.K.W., pada umumnya Notaris tidak menyelidiki sikap
ahli-waris terhadap warisan pewaris, maka S.K.W. sama sekali tidak
menggambarkan sikap dari orang (orang) yang didalamnya dinyatakan
sebagai “ahli-waris”. Yang didalam S.K.W. disebut sebagai “ahli-waris”
adalah orang (orang) yang berdasarkan undang-undang terpanggil untuk
mewaris, mereka (mereka) yang baru berstatus sebagai orang (orang) yang
terpanggil untuk mewaris.
Ps.
1023 B.W. mengatakan, bahwa “Alle personen, aan welke een erfenis is
opgekomen, …”, yang menurut penulis bisa diterjemahkan menjadi “ mereka
terpanggil untk mewaris suatu warisan …” boleh mengambil sikap untuk
menerima warisan secara murni, menerima secara beneficiair atau menolak
warisan.
Dengan
akta S.K.W. kita tahu, siapa-siapa yang terpanggil untuk mewaris dan
hanya kepada mereka-mereka yang terpanggil itulah, yang -- berdasarkan
Ps. 1023 B.W. -- diberikan kesempatan untuk mengambil sikap terhadap
warisan.
7. PERMASALAHAN (2)
Berdasarkan
Ps. 14 sub 2 d Wet op de Grootboek der Nationale Schuld, kalau ada
ditinggalkan wasiat oleh pewaris, maka S.K.W. harus menyebutkannya
secara teliti. Dalam prakteknya, sebelum menyusun S.K.W., Notaris
mengadakan checking ke Daftar Pusat Wasiat Departemen Kehakiman dan Hak
Asasi Manusia, apakah pewaris ada meninggalkan surat wasiat.
Kalau
ada ditinggalkan wasiat oleh pewaris, maka seluruh isi wasiat ditulis
kembali di dalam S.K.W. yang pernah penulis temui, dengan ada
ditinggalkannya wasiat oleh pewaris, Notaris ybs., karena mau bersikap
sangat hati-hati, didalam S.K.W. langsung saja menyebutkan, bahwa para
legitimaris menuntut L.P.nya.
Bisa
kita duga bahwa cara berfikir Notaris ybs. adalah : bukankah kalau ada
wasiat ada kemungkinan L.P. legitimaris akan terlanggar ?
Kalau
ahli-waris protes atas penyebutan hak-bagiannya dalam S.K.W. kecil
(yang mewujudkan haknya atas L.P.), Notaris mempunyai dalih, bahwa
bukankah L.P. merupakan bagian yang minimum yang harus diberikan kepada
ahli-waris legitimaris ? Dan karenanya kalau diberikan lebih tidak
apa-apa ? Pikirnya, daripada terlambat, lebih baik cepat-cepat
menyatakan “menuntut L.P”. Yang dilupakan oleh Notaris ybs. adalah,
bahwa dengan begitu S.K.W. tidak memenuhi fungsinya, yaitu menyatakan
siapa ahli-waris dari pewaris dan berapa hak bagiannya atas warisan, dan
yang dimaksud dengan “hak bagiannya” adalah hak bagian ab intestaatnya,
itupun kalau ia menyatakan menerima warisan.
Konsekwensi
yang lebih berat dari statement sebagai tersebut di atas adalah, bahwa
pernyataan menuntut L.P. bisa ditafsirkan sebagai pernyataan untuk
menerima warisan. Kalau ia tidak berniat untuk menerima warisan, untuk
apa ia menuntut L.P. ?
Konsekwensi
lebih lanjut bisa sangat parah, kalau ternyata warisan pewaris negatif.
Misalkan setelahsekian tahun sejak S.K.W. dibuat, para ahli-waris
memutuskan untuk membagi warisan dan datang ke seorang Notaris Y. ketika
Notaris Y yang hendak menuangkan tindakan pemisahan dan pembagian
warisan dalam akta, membuat perhitungan atas aktiva dan pasiva, dan
melaporkan kepada para ahli-waris, bahwa warisan pewaris ternyata
adalah negatif, hutang-hutangnya jauh di atas aktivanya. Dalam hal
demikian, kemungkinan besar para ahli waris -- untuk menghindarkan
kerugian -- akan menolak saja warisan tersebut. Tetapi Notaris Y
mengatakan, bahwa mereka tidak bisa menolak lagi, karena mereka sudah
menyatakan menerima warisan, Notaris Y akan menunjukkan S.K.W. yang
dulu dibuat oleh Notaris X, dalam mana disebutkan, bahwa para leitimaris
telah menuntut L.P. nya dan dengan itu berarti, bahwa para ahli-waris
secara diam-diam telah menerima warisan ybs. Sudah tentu para
legitimaris akan mengatakan, bagaimana mau dikatakan mereka menuntut
L.P., apa itu L.P. saja mereka tidak tahu. Dan ini memang benar,
bukankah Notaris dalam prakteknya tidak menanyakan lebih dahulu apakah
para ahli-waris menuntut L.P. dan kalaupun ada ditanyakan, kepada
mereka Notaris pada umumnya tidak memberitahukan apa
konsekwensi-konsekwensinya. Apalagi pada umumnya pembuatan S.K.W.,
sudah cukup atas permintaan salah seorang dari para ahli-waris saja.
Berarti, bahwa bisa terjadi ada sesama ahli-waris lan, yang tidak
pernah tahu adanya pembuatan S.K.W. Bagaimana mau dikatakan, bahwa ia
menuntut L.P. ?
Permasalahannya,
kalau ada kerugian pada ahli-waris karena adanya statement “menuntut
L.P.” dalam S.K.W., tanpa Notaris memberitahukan apa konsekwensi dari
pernyataan seperti itu, siapakah yang harus bertanggungjawab ?
Perlu
diperhatikan, bahwa Notaris, selain adalah pejabat yang melayani
pembuatan akta, ia adalah sekaligus juga penasehat hukum bagi clientnya.
Notaris wajib memperhatikan kepentingan clientnya dengan baik dan
sebagai seorang profesional, dalam pelaksanaan profesinya, ia menjamin
kebenaran obyektif dari advis-advisnya; ia tidak bisa mengelak
tanggung-jawab dengan mengatakan, bahwa semula menurut kenyakinannya apa
yang ia lakukan dan nyatakan adalah benar. Disini tidak berlaku
kebenaran subyektif, tetapi Notaris harus menjamin kebenaran obyektif.
8. TERLANGGARNYA L.P.
Sebagaimana
telah disebutkan di atas, terlanggarnya L.P. dari legitimaris terjadi
karena tindakan pewaris atas hartanya, baik yang dilakukan semasa
hidupnya maupun melalui wasiat. Dalam hal ini kita harus mengakui,
bahwa pewaris -- sebagai juga setiap pemilik atas suatu benda -- pada
asasnya adalah bebas untuk mengambil tindakan -- termasuk tindakan
pemilikan -- atas harta miliknya. Yang dikhawatirkan oleh pembuat
undang-undang adalah tindakan pewaris yang sengaja dimaksudkan untuk
menyingkirakan ahli-waris tertentu dari pewarisan, dengan jalan
melepaskan harta miliknya secara Cuma-Cuma. Tindakan Cuma-cuma yang
dapat dilakukan dan dilaksanakan semasa hidup pewaris adalah tindakan
hibah, sedang yang baru dilaksanakan sesedah pewaris mati adalah
pemberian melalui wasiat.
Dengan
demikian kita melihat, bahwa tidakan pewaris secara Cuma-Cuma, yang
bisa melanggar L.P. dari legitimaris adalah hibah dan / atau pemberian
melalui wasiat. Karenanya adalah aneh sekali, kalau dalam pembuatan
S.K.W., yang katanya atas kehati-hatian, Notaris hanya merasa perlu
untuk menyatakan ahli-waris menuntut L.P. nya, kalau pewaris ada
meninggalkan surat wasiat saja. Bukankah tidak ada wasiatpun L.P.
legitimaris bisa terlanggar, yaitu kalau ada hibah-hibah yang meliputi
seluruh warisan atau paling tidak suatu bagian yang cukup besar ?
Dari
apa yang telah dikemukakan di atas, sekarang kita tahu, bahwa tidak
setiap hibah atau pemberian melalui wasiat pasti mengakibatkan
pelanggaran L.P. Hanya hibah atau wasiat yang -- dibandingkan dengan
keseluruhan warisan -- meliputi jumlah yang cukup besarnya saja, yang
potensial untuk melanggar L.P. Disamping itu, terhadap wasiat masih
harus diperhitungkan, apakah ahli-waris / legitaris yang ditunjuk dalam
wasiat menerima pemberian itu atau tidak.
Mengingat,
bahwa S.K.W. belum menggambarkan sikap dari mereka -- yang terpanggil
untuk mewaris -- terhadap warisan yang terbuka, maka semua ahli-waris
yang disebutkan dalam S.K.W. belum kehilangan haknya untuk, sesudah ada
S.K.W., menyatakan menerima atau menolak warisan, termasuk untuk
menuntut L.P.nya, kalau diperlukan. Kalau begitu, apakah ada cukup
alasan untuk cepat-cepat menyatakan sikap ahli-waris dalam S.K.W. ?
Apalagi kalau akta itu dibuat hanya atas permintaan salah satu atau
beberapa diantara para ahli-waris saja ?
Kalaupun,
karena ada wasiat ditinggalkan pewaris, dan Notaris, demi untuk
melindungi para legitimaris merasa lebih aman, kalau para legitiemaris
menyatakan tuntutannya atas L.P.nya, maka redaksinya bisa dibuat menjadi
lebih netral, umpama saja sbb. :
“
Dengan tidak mengurangi hak para legitiemaris untuk menuntut L.P.nya,
maka setelah wasiat dilaksanakan, sisa warisan menjadi hak bagian dari
para ahli-waris menurut undang-undang, kesemuanya untuk hak bagian yang
sama besarnya, yaitu masing-masing mendapat 1/3/(satu per tiga) bagian
dari warisan “. (Catatan : kalau ahli-warisnya ada 3 orang dengan hak
bagian yang sama besarnya).
9. WARISAN SEBAGAI PEMILIKAN - BERSAMA YANG TERIKAT.
Dengan
matinya Pewaris, maka seluruh warisannya, sebagai satu kesatuan (en
bloc) demi hukum beralih kepada seluruh ahli warisnya. Kalau
ahli-warisnya ada lebih dari satu orang, maka -- sebelum dilaksanakan
pemisahan dan pembagian atas warisan ybs. Dengan demikian atas warisan
itu -- antara para ahli-waris -- ada pemilikan-bersama (mede-eigendom;
vide Ps. 1066 K.U.H.Perdata).
Doktrin
membedakan dua macam pemilikan-bersama, yaitu pemilikan-bersama yang
bebas (vrije mede-eigendom) dan pemilikan-bersama yang terikat (gebonden
mede-eigendom). Salah satu ciri yang membedakan keduanya adalah,
apakah diantara para pemilik serta, ada hubungan hukum yang lain selain
daripada hanya sekedar mereka adalah bersama-sama menjadi pemilik-serta
atas satu atau sekelompok benda yang sama (L.C.Hofmann, 1933, hal. 117 -
118). Yang biasanya dipakai sebagai patokan untuk membedakannya adalah
ketentuan-ketentuan yang ada dalam B.W., yaitu dengan memperbandingkan
Ps. 119 (tentang harta-persatuan), Ps. 1066 (tentang boedel warisan) dan
Ps. 1618 K.U.H.Perdata (tentang boedel perseroan) disatu pihak, dan
ketentuan Ps. 573 B.W. dilain pihak. Pasal-pasal yang disebut pertama
mewakili ” pemilikan-bersama yang terikat”, sedang yang disebut terakhir
mewakili “pemilikan-bersama yang bebas”. Adakalanya doktrin membedakan
kedua macam pemilikan-bersama menjadi : pemilikan-bersama atas
sekelompok hak dan kewajiban sebagai satu kesatuan (pemilikan-bersama
atas boedel-bersama, boedelgemeenschap) dan pemilikan-bersama atas benda
tertentu, zaakgemeenschap) (J.H.Beekhuis, 1975, hal 307)
Salah
satu ciri khas dari pemilikan-bersama yang terikat adalah, bahwa atas
harta milik-bersama, pemilik-serta hanya bisa melakukan tindakan hukum
dengan persetujuan semua pemilik-serta yang lain.
Pemilikan-bersama
yang terikat muncul diluar kehendak para pemilik-serta. Keadaan itu
muncul sebagai akibat dari suatu peristiwa diluar kehendak mereka --
seperti pada pewarisan -- atau merupakan akibat dari tindakan hukum lain
(menikah atau mendirikan perseroan). pemilikan-bersama yang bebas
muncul dari kehendak para pemilik-serta, misalnya para pemilik-serta
bersama-sama membeli suatu benda tertentu. Dengan tindakan seperti itu
muncullah pemilikan-bersama yang bebas antara mereka. Para
pemilik-serta pada pemilikan-bersama yang bebas mempunyai kebebasan yan
glebih besar untuk mengambil tindakan atas hak-bagiannya dalam
pemilikan-bersama.
10. HAK BAGIAN AHLI - WARIS
Besarnya
hak bagian ahli-waris dalam pemilikan-bersama atas boedel warisan
ditentukan oleh undang-undang (K.U.H.Perdata) dan / atau wasiat.
Kalau
Pewaris tidak meninggalkan wasiat- pengangkatan-waris, maka berlakulah
ketentuan pewarisan ab intestaat, dan besarnya hak bagian ahli-waris
atas warisan pewaris didasarkan atas ketentuan undang-undang, ic. Bab
XII Buku II K.U.H.Perdata.
Dalam
hal Pewaris meninggalkan wasiat-pengangkatan-waris, maka wasiat
dijalankan lebih dahulu (Ps 874 K.U.H.Perdata), sisanya baru dibagi
menurut undang-undang, dengan tidak mengurangi hak para legitiemaris
untuk menuntut L.P.nya, kalau L.P.-nya (-mereka) dilanggar. Besarnya
hak bagian para ahli-waris disebutkan dalam suatu pecahan sebanding
tertent dari warisan.
Para
legataris (penerima hibah-wasiat) bukan merupakan “ahli-waris”, karena
mereka mengoper benda tertentu dari warisan berdasarkan atas hak khusus.
Mereka hanya mengoper hak-hak saja, mereka tidak mengoper kewajiban
pewaris. Lain halnya dengan ahli-waris, yang mengoper berdasarkan alas
hak umum, yang mengoper baik hak maupun kewajiban.
Yang
perlu diwaspadai adalah, bahwa hak bagian para ahli-waris adalah suatu
bagian sebanding tertentu dari warisan sebagai satu kesatuan (en bloc),
sehingga kalau dikatakan, bahwa X mempunyai hak bagian sebesar 1/3
warisan, bukan berarti, bahwa X mempunyai 1/3 atas masing-masing benda
yang berbentuk warisan sebagai satu kesatuan. Bagian 1/3/ itu adalah
1/3 dari aktiva maupun pasiva boedel warisan sebagai satu kesatuan.
Karenanya ahli-waris pemilik-serta tidak bisa memaksa sesama ahli-waris
lainnya untuk membagi “masing-masing benda” warisan dalam bagian-bagian
sesuai dengan besarnya hak bagian masing-masing ahli-waris; umpama saja
memotong meja dan kursi, yang merupakan bagian dari boedel warisan,
menjadi 3 bagian.
11. PEMISAHAN DAN PEMBAGIAN WARISAN
Karena
hak-bagian ahli-waris disebutkan dalam suatu pecahan tertentu atas
(atau seluruh) warisan, maka semua itu masih harus dilaksanakan lebih
lanjut dalam wujud pembagian benda-benda warisan yang ada. Pembagian
dan pemisahan warisan tidak dilakukan dengan memotong tiap benda
menjadi bagian-bagian sesuai dengan banyak ahli-waris. Undang-undang
memberikan pedoman pemisahan dan pembagian boedel dalam Bab VII Buku III
B.W.
Setelah
dilaksanakan pemisahan dan pembagian, para ahli-waris baru tahu,
benda-benda apa saja dari warisan yang jatuh kepadanya. Berdasarkan Ps.
1083 B.W. pemisahan dan pembagian warisan berlaku surut sampai saat
pewaris meninggal dunia. Hal itu berarti, bahwa benda tertentu yang
jatuh kepadanya, dianggap sudah menjadi miliknya sejak pewaris meninggal
dunia. Disini pembuat undang-undang membuat fiksi, seakan-akan
ahli-waris ybs. mengoper langsung dari Pewaris pada saat Pewaris mati
(W.M. Klein, hal. 114 - 115). Dilain pihak, sesudah pemisahan dan
pembagian warisan, para ahli-waris baru tahu, bahwa atas benda-benda
tertentu, yang dalam pemisahan dan pembagian jatuh kepada ahli-waris
lain, ternyata ia tidak pernah turut memiliki benda tersebut (Ps. 1083
ayat 2 B.W.).
Dari
sifat warisan sebagai suatu pemilikan-bersama yang terikat dan dari
ketentuan undang-undang yang mengatur pemisahan dan pembagian boedel,
orang menyimpulkan, bahwa pemisahan dan pembagian boedel tidak bisa
dibagi-bagi, atau dengan perkataan lain pemisahan dan pembagian warisan
harus dilaksanakan sekaligus untuk seluruh warisan sebagai satu
kesatuan. Hal itu berarti, bahwa pemisahan secara partiil -- atas benda
(-benda) tertentu dari warisan -- tidak dibenarkan, sebab bisa
merugikan kedudukan ahli-waris yang lain. Jadi pada asasnya memaksakan
pemisahan benda tertentu (pemisahan partiil) tidak dibenarkan.
Pemisahan secara partiil hanya dibenarkan dengan persetujuan semua
ahli-waris.
Disamping
itu pemisahan secara partiil tanpa persetujuan semua pemilik-serta yang
lain, tidak menjamin, bahwa pihak -ketiga yang mengoper benda tertentu
dari warisan, benar-benar akan mendapatkan benda ybs. Kesemuanya
bergantung dari, apakah nanti dalam pemisahan dan pembagian, benda
tersebut jatuh kepada ahli-waris yang mengoperkan benda tersebut
kepadanya. Jadi d.p.l. perjanjian obligatoirnya bisa ditutup, tetapi
leveringnya belum tentu bisa terlaksana (J. Satrio, 1998)
Bahwa memaksakan pemisahan secara partiil tidak dibenarkan, bisa kita lihat dari ketentuan Ps. 494 Rv., yang mengatakan :
“
Sekalipun demikian, hak bagian pemilik-serta atas benda tetap suatu
warisan, oleh kreditur pribadinya tidak dapat dituntut untuk dijual,
sebelum boedel warisan dipisahkan melalui pembagian, pemisahan mana,
kalau ada alasan untuk itu, bisa dituntut olehnya”.
Yang
dimaksud dengan “kreditur pribadi” adalah krediturnya ahli-waris,
sedang yang dimaksud dengan “menjual” adalah mengeksekusi (menjual
lelang). Jadi krediturnya ahli-waris tidak bisa mengeksekusi benda
tetap warisan, atas mana debiturnya, sebagai ahli-waris, adalah
pemilik-serta, sebelum warisan itu dipisahkan dan dibagi, karena
penjualan eksekusi akan mengakibatkan pemisahan boedel warisan secara
partill. Di dalam doktrin ketentuan itu kemudian ditafsirkan luas,
sehingga meliputi semua benda yang termasuk dalam boedel warisan dan
semua tindakan mengalihkan (A.Pitlo, hal. 260; W.M.Klein, hal 52).
12. PERMASALAHAN (3)
Bagaimana
kalau, sebagaimana yang biasa terjadi, ahli-waris tertentu -- sebut
saja si A -- menjual hak-bagiannya atas suatu persil tertentu --
sebutnya saja persil X -- yang berasal dari warisan, yang telah
dibalik-nama berdasarkan S.K.W. ke atas nama semua ahli-waris, termasuk
diri ahli-waris yang menjual ? Jadi sertifikatnya sudah tercatat atas
nama semua ahli-waris.
Kita
ketahui, praktek membalik nama suatu persil berdasarkan S.K.W. sudah
biasa terjadi, dan yang demikian memang dimungkinkan oleh undang-undang
(vide Ps. 42 P.P. 42 tahun 1977).
Untuk jelasnya kita kutib Ps. 42 ayat 5 P.P. 24/1997 sbb :
“warisan
berupa hak atas tanah atau hak milik atas rumah susun yang menurut akta
pembagian waris harus dibagi bersama antara beberapa penerima warisan
atau waktu didaftar belum ada akta pembagian warisnya, didaftar
peralihan haknya kepada para penerima waris yang berhak sebagai
hak-bersama mereka berdasarkan surat tanda bukti sebagai ahli-waris dan /
atau akta pembagian waris”
Dengan
mengacu kepada Surat Dirjen Agraria tgl. 20 Desember 1969, No.
Dpt/12/63/12/69), kata-kata “tanda bukti sebagai ahli waris” mestinya
tertuju kepada S.K.W.
Sekarang, mengapa dipermasalahkan ?
Karena
dalam praktek yang muncul dikalangan para Notaris/P.P.A.T., warisan
pewaris yang berupa persil, dibalik nama ke atas nama semua ahli-waris
berdasarkan S.K.W. dan pelaksanaan balik nama biasanya cukup atas
permintaan dari salah seorang ahli-waris yang namanya disebut sebagai
ahli-waris dalam S.K.W.
Tindakan
membalik-nama persil warisan berdasarkan S.K.W. atas permintaan salah
satu atau beberapa di antara para ahli-waris, merupakan tindakan
pemaksaan pemisahan secara partiil. Di pandang dari pihak-ketiga,
tindakan membalik nama persil ybs. ke atas nama semua ahli-waris bisa
ditafsirkan, bahwa semua ahli-waris telah menerima warisan dan sepakat
untuk membagikan persil ybs. kepada semua ahli-waris.
Permasalahannya
adalah, bagaimana kalau kemudian atas permintaan dari para ahli-waris
dilaksanakan pemisahan dan pembagian atas warisan, dan disepakati,
bahkan persil X tersebut diberikan kepada salah satu saja diantara para
ahli-waris, yaitu si B, bukan kepada A, ahli-waris yang telah menjual
hak bagiannya atas persil X itu ?
Sejalan
dengan prinsip Ps. 1083 B.W., bukankah ternyata, sejak pewaris mati
persil X dianggap telah beralih kepada B, dan bahwa para ahli-waris yang
lain, yang dalam pembagian tidak menerima persil X itu -- termasuk si A
-- tidak pernah turut memiliki persil tersebut ?
Sekarang,
bagaimana kalau ternyata, A -- yang telah mengoperkan hak-bagiannya
atas persil X tersebut kepada pihak ketiga -- adalah ahli-waris, yang
dalam pemisahan dan pembagian, tidak mendapatkan persil X, sehingga
ternyata tidak pernah turut memiliki persil tersebut ? Maksudnya,
bagaimana dengan nasib pihak-ketiga yang dengan itikad baik mengoper
“hak-bagian A” atas persil X ? Bukankah jual beli benda milik orang
lain batal (Ps. 1457 B.W.) ? Kalau rechtstitelnya batal, bagaimana
dengan levering/penyerahannya ? Lalu yang paling penting, bagaimana
tanggung-jawab Notaris / P.P.A.T. ?
Makalah ini disusun untuk pertemuan Notaris di Samarinda.
Purwokerto, 14 September 2004
J. SATRIO, S.H
Daftar Literatur yang digunakan :
1. P. Scholten - J. Wiarda Serie Asser, Handleiding tot de beoefening van het Nederlands
Burgelijk Recht, Bagian I, Familierecht, cetakan kedelapan,
Tjeenk Willink, Zwolle 1947.
2. A. Pitlo Het Erfrecht naar het Nederlands Burgelijk Wetboek cetakan
kedua, Tjeenk Willink en zoon, Haarlem, 1955.
3. M.J.A. van Mourik Erfrecht, Tjeenk Willink, Zwolle 1985.
4. L.C. Hofmann het Nederlands Zakenrecht, J.B. Wolters, Groning-en - den Haag -
Batavia, 1933.
5. J.H. Beekhuis Serie Asser, Handleiding tot de beoefening van het Nederlands
Burgelijk Recht, Zakenrecht, Algemeen Deel, cetakan kesepuluh,
Tjeenk Willink, Zwolle 1975.
6. Ting Swan Tiong Tentang Surat Keterangan Hak Waris, dimuat dalam Media
Notariat, No. 18 - 19 tahun VI - Januari 1991, hal. 158.
7. J. Satrio Hukum Waris, tentang Pemisahan Boedel, Citra Aditya Bakti,
Bandung 1998.
8. W.M. Klein De Boedelscheiding, S. Gouda Quint - D. Brouwer en zoon, Het
Huis de Crabbe - Arnhein, 1969.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar