Reaksi atas Somasi
Sebagaimana
telah dikatakan dalam makalah yang lalu, suatu somasi merupakan suatu
teguran atau peringatan agar debitur memenuhi kewajiban prestasi
perikatannya dalam waktu yang disebutkan dalam somasi. Atas somasi itu
ada kemungkinan, debitur memberikan reaksi atau tidak memberikan reaksi
alias cuek saja.
Kalau
debitur memberikan reaksi atas domasi kreditur, apa akibatnya? Kita
tidak bisa menjawab secara umum, kita lihat dulu apa bentuk reaksinya.
Kalau debitur memberikan reaksi, maka kemungkinannya adalah, debitur
berprestasi dengan baik, atau bisa juga debitur memberikan prestasi,
tetapi prestasinya tidak baik. Sebelum melanjutkan membahas permasalahan
tersebut, kita perlu menyepakati dulu, bahwa dalam doktrin -- dan juga
dalam tulisan ini -- yang namanya berprestasi adalah berprestasi dengan
baik, artinya berprestasi sebagaimana seharusnya.
Lalu,
prestasi yang baik itu yang bagaimana? Ini akan kita tinjau di bawah
ini. Praktek pasti membutuhkan suatu patokan untuk bisa menetapkan
debitur telah berprestasi, dan kreditur harus menerimanya.
Berpegang
kepada patokan tersebut di atas, bahwa berprestasi adalah berprestasi
dengan baik, yaitu berprestasi sebagaimana seharusnya, maka kalau
begitu, memberikan prestasi yang tidak baik tidak bisa disebut sebagai
debitur telah berprestasi?
Ya, benar sekali. Kalau ada pernyataan, bahwa debitur
telah memberikan prestasinya, maka hal itu berarti debitur telah
memenuhi kewajiban pretasinya dengan baik. Jadi, sekedar contoh, kalau undang-undang ada kalanya berbicara tentang “berhenti membayar hutang-hutangnya” (1),
maka yang dimaksud adalah berhenti membayar dengan baik, berhenti
membayar sebagaimana mestinya. Orang tidak bisa mengatakan, karena
debitur -- yang mempunyai hutang Rp. 1 milyar -- masih mencicil Rp 1,00 setiap hari, maka debitur belum berhenti membayar. “Berhenti membayar“
merupakan suatu istilah teknis hukum, yang mempunyai arti yang berbeda
dengan arti yang diberikan dalam kehidupan sehari-hari atas kata
tersebut. Sekali lagi, kalau debitur mempunyai kewajiban membayar, maka
yang dimaksud adalah kewajiban membayar sesuai dengan yang diperjanjikan
atau sesuai dengan ketentuan undang-undang (2).
Kalau tidak telah disepakati lain, maka janji pembayaran debitur adalah
janji untuk membayar dengan tunai, dan karenanya membayar (prestasi)
secara angsuran bukan merupakan pembayaran/pemenuhan prestasi.(3)
Permasalahan
Permasalahannya, kapan bisa dikatakan, bahwa debitur telah berprestasi?
Ini
memang penting sekali, sebab bukankah kalau debitur telah berprestasi –
dengan kata lain telah membayar kewajiban perikatannya dengan baik --
maka perikatan yang bersangkutan menjadi hapus.
Apa
arti “perikatan menjadi hapus“ di sini? Artinya, tidak ada hak dan
kewajiban lagi dari perikatan itu (yang telah hapus). Kalau kreditur
tidak punya hak tagih lagi dan debitur tidak lagi berkewajiban untuk
membayar hutang, maka artinya hutang itu telah lunas.
Dimana hal tsb diatur? Dalam Pasal 1381 ayat 1 B.W. Di sana dikatakan, bahwa perikatan hapus karena pembayaran.
Jadi “membayar“ dalam Pasal 1381 B.W. adalah membayar kewajiban perikatan?
Ya,
yang demikian adalah sesuai dengan judul Bab IV B.W., dalam mana Pasal
1381 B.W. termasuk, yaitu berjudul: “Tentang Hapusnya Perikatan”.
Kalau
begitu “membayar“ adalah suatu istilah teknis hukum, yang tidak harus
berupa membayar sejumlah uang? Memang benar, “membayar“ di dalam hukum
tidak sama dengan menyerahkan sejumlah uang (4).
Sekedar memberikan gambaran apa yang dimaksud dengan “membayar” dalam
hukum, dapat dikemukakan pertimbangan Pengadilan yang pada intinya
berbunyi:
“Membayar,
suatu istilah yang tidak boleh dikacaukan dengan menyerahkan sejumlah
uang, adalah suatu pengertian hukum, yang tidak bisa ditangkap oleh
pancaindera kita, dan karenanya, juga tidak bisa dikonstatir secara sah
oleh notaris“. (HgH Batavia 26 Juli 1928, dimuat dalam T. 131 : 282).(5)
Bukankah perikatan itu isinya bermacam-macam? Apakah dalam kata “membayar”
juga termasuk memenuhi kewajiban perikatan “untuk tidak melakukan
sesuatu”? Memang, yang “dibayar“ adalah kewajiban perikatan dan karena
perikatan itu isinya bisa berupa (1) kewajiban untuk memberikan sesuatu,
(2) untuk melakukan sesuatu dan (3) untuk tidak melakukan sesuatu (baca
Pasal 1234 BW), maka kewajiban prestasi (yang harus dibayar) wujudnya
adalah salah satu, atau campuran, isi perikatan seperti itu.
Kalau
begitu, karena isi perikatan bisa bermacam-macam, maka tidak bisa
dikatakan secara umum, kapan suatu perikatan telah dipenuhi dengan baik?
Benar sekali, pemenuhan masing-masing jenis perikatan harus dinilai
sendiri-sendiri. Karena isi perikatan pada asasnya bisa
dikelompok-kelompokkan dalam tiga kelompok sebagai yang disebutkan dalam
Pasal 1234 BW, maka perlu ditinjau satu per satu pemenuhan perikatan berdasarkan isinya. Kita untuk sementara hanya akan meninjau pemenuhan perikatan “untuk memberikan sesuatu”.
Pemenuhan Perikatan untuk Memberikan Sesuatu
Kita coba untuk mulai dengan meninjau, kalau isi perikatannya adalah untuk memberikan sesuatu.
Permasalahannya
disini adalah, kalau isi perikatannya adalah untuk memberikan sesuatu,
kapan dapat dikatakan debitur telah membayar kewajiban prestasinya? Kita
perlu bedakan dulu, apakah prestasi yang harus diberikan berupa “benda
tertentu“ atau benda “menurut jenis“.
Apa
ada bedanya? Ada dan besar bedanya. Mari kita simak yang berikut ini.
Benda menurut jenis adalah sekelompok benda yang ditentukan berdasarkan
ciri-ciri umum atau ciri-ciri generik pada benda-benda yang
bersangkutan. Karena itu dalam doktrin kita mengenal istilah “benda
generik”. Misalnya “beras Cianjur“, sepeda motor
“Honda“, “bawang merah Brebes“. Ini semua merupakan penyebutan benda
menurut jenis. Kiranya sudah bisa dibayangkan, bahwa ada banyak benda
sejenis yang memenuhi ciri umum seperti itu. Dalam perjanjian jual beli
barang menurut jenis, penjual bisa menyerahkan barang yang mana saja,
asal dari jenis yang disepakati.
Jadi,
kalau obyek perjanjian disepakati berdasarkan jenis barang, maka dapat
kita simpulkan, bahwa bagi seorang pembeli (kreditur) tidak menjadi
soal, apakah benda yang diserahkan berasal dari gudang A atau B, yang
penting benda itu memenuhi ciri / kualitas umum yang telah disepakati?
Benar sekali. Penjual boleh menyerahkan benda sejenis yang manapun yang
ia punyai.
Apakah
pengertian benda menurut jenis ada kaitannya dengan pembagian benda
menjadi benda yang bisa diganti dan benda yang tidak bisa diganti? Ya,
benar, karena dalam doktrin, benda yang dapat diganti dirumuskan sebagai
benda-benda yang tidak ditentukan secara individual, tetapi ditentukan
berdasarkan ciri-ciri generic (6). Benda
yang ditentukan menurut jenis adalah benda yang bisa diganti dengan
benda lain dari jenis yang sama. Untuk jelasnya akan dikemukakan contoh:
A, setelah melihat contoh setumpuk (yang terdiri dari sekian batang)
besi beton ukuran tertentu, telah memesan 20 batang. Meskipun A telah
melihat dan menilai setumpuk besi beton yang ditawarkan kepadanya,
tetapi penjual tidak harus menyerahkan besi beton yang dicontohkan itu.
Penjual bisa menyerahkan besi beton yang lain, dari jenis yang sama, dan
dengan itu boleh diterima, debitur telah memenuhi kewajiban
perikatannya. Itulah sebabnya, pada umumnya transaksi benda-benda
menurut jenis (atau benda yang bisa diganti) dilakukan atas dasar jumlah
satuan, ukuran panjang atau beratnya saja.
Jadi
debitur bisa menukar obyek yang ditawarkan dengan benda sejenis dari
tempat lain? Memang, penjual bisa menukar barang yang ditawarkan dengan
benda yang lain dari jenis yang sama. Demikian juga kalau penjualan
ditutup berdasarkan contoh (monster). Bagi pembeli yang penting bukan
besi beton yang pernah ia lihat dan pegang (atau yang dicontohkan
kepadanya), tetapi besi beton dari ukuran dan kualitas tertentu sebagai
yang telah ditawarkan kepadanya.
Ada suatu contoh peristiwa yang menarik untuk dikemukakan. Seorang pedagang, A, telah membeli satu partij gula pasir dari B. Sebelum
ada penyerahan dari B, A berhasil menjual lagi gula itu kepada C,
dengan janji “kalau B tidak menyerahkan gula yang dibeli oleh A (ingkar
janji), maka perjanjian jual beli antara A dan C menjadi batal.” Jadi
ada jual beli bersyarat. Pada waktu yang ditentukan, A tidak melever
gula kepada C, sehingga C menggugat A telah wanprestasi dan menuntut
ganti rugi. A mengatakan, bahwa karena B tidak
memberitahukan, dari gudang penyimpanan yang mana, B akan menyerahkan
gula, maka A menganggap B tidak mau menyerahkan gula, sehingga -- sesuai
dengan syarat jual beli dengan C -- jual beli itu menjadi batal.
Sekedar penjelasan, gula itu pada waktu jual beli antara A dan B
terjadi, berada di tempat B. Jadi penyerahan dilakukan di tempat B. Hal
itu berarti ada kewajiban pada A untuk mengambil dari tempat B. Dengan
kata lain, penyerahannya di gudang B. Karena pada waktu jual beli, belum
ditentukan gula yang mana yang akan diserahkan, maka -- menurut versi
dari A -- mestinya B wajib memberitahukan kepada A. Pengadilan
berpendapat, bahwa dari sikap B, belum bisa disimpulkan, bahwa B ingkar
janji dan karena benda obyek jual beli adalah benda menurut jenis
(gula), maka A tetap harus memenuhi kewajibannya untuk menyerahkan gula
yang dibeli kepada C. Di sini tidak ada keadaan memaksa (overmacht). Kalau B belum menyerahkan gula kepada A, A bisa mencari gula dari tempat lain untuk memenuhi kewajibannya (7).
Penjelasan:
A berusaha untuk menghindar dari tuntutan C atas dasar wanprestasi,
dengan mengemukakan, bahwa karena B tidak berprestasi, maka ia tidak
bisa memenuhi kewajibannya tehadap C, d.p.l. mau mengatakan, ia
menghadapi keadaan memaksa (overmacht). Namun, karena
kewajiban prestasi A adalah benda menurut jenis (gula pasir), maka
Pengadilan mengatakan, A tidak bisa mengemukakan overmacht, karena bukankah ia bisa mencari gula pasir dari tempat lain?
Kalau
begitu semakin banyak ciri-ciri yang disebutkan, maka bendanya makin
tertentu? Sudah dengan sendirinya begitu, sekalipun belum tentu dengan
penyebutan ciri-ciri tertentu, suatu benda telah
menjadi “benda tertentu”, sebagai yang nanti dibawah kita rumuskan.
Semakin longgar penyebutan ciri obyek perjanjian, semakin besar ruang
gerak debitur untuk memilih barang yang harus diserahkan olehnya.
Permasalahannya
adalah, benda yang disebutkan menurut jenisnya, kualitasnya bisa
berbeda-beda, dari yang terbaik sampai yang kurang baik, sekalipun semua
memang dari jenis yang telah disepakati. Misalkan “beras Cianjur “, ada
nuansa kualitas beras Cianjur dari yang bagus sekali, bijinya
panjang-panjang dan putih sekali, sampai ada yang kurang sedikit, memang
juga putih tetapi bijinya ada yang patah-patah, dan ada yang
kualitasnya di bawahnya lagi, dan selanjutnya.
Lalu
kreditur boleh berharap mendapat benda dengan kualitas yang mana?
Kreditur mestinya berharap untuk mendapatkan benda jenis itu dari
kualitas yang terbaik, sedang debitur ada kemungkinan, kalau boleh, akan
memberikan barang bukan dari jenis yang terbaik, karena tentunya
harganya lebih murah, sehingga ia bisa berharap mendapat keuntungan yang
lebih banyak.
Permasalahannya,
apakah dalam peristiwa seperti itu kreditur berhak untuk menuntut
barang dari kualitas yang terbaik? dengan konsekuensinya, kreditur
berhak menolak penyerahan barang dari kualitas yang dibawah dari yang
terbaik? Sebaliknya, apakah debitur berhak tetap membenarkan dirinya
untuk menyerahkan barang baik, tetapi bukan dari kualitas yang terbaik?
Pertanyaan selanjutnya, dengan penyerahan benda
dengan kualitas seperti apa -- dari jenis yang disepakati -- debitur
bisa dikatakan telah memenuhi kewajiban perikatannya? Sudah bisa diduga,
hal itu bisa menimbulkan banyak sengketa.
(bersambung)
-------
*) Penulis adalah pengamat hukum. Tinggal di Purwokerto.
Catatan
(1). Pasal 1 Faillissement Verodening.
(2).
Membayar dengan giro bilyet kosong, bukan merupakan pembayaran yang
sah, dengan akibatnya debitur wanprestasi, demikian intisari kpts. M.A.
No. 63 K/Pdt/1987, ttgl. 15 Agustus 1988, dimuat YMARI, 1991 hal. 39.
(3).
Berdasarkan ketentuan B.W., pada asasnya semua pembayaran adalah tunai,
kecuali telah disepakati lain oleh para pihak atau undang-undang
menentukan lain. Didalam B.W. Belanda, melalui S. 1936 : 202, telah
ditambahkan Bagian Keenam pada Bab Kelima Buku III B.W. dengan judul
“Tentang jual beli dengan cicilan“.
(4). J. Satrio, Hukum Perikatan, Tentang Hapusnya Perikatan, Buku I, Bandung:Citra Aditya Bakti, 1996, h. 9-10.
(5). “Betaling, welke
term niet met het feit van geldtoetelling mag worden verward, is een
rechtsbegrip, welke voor zintuigelijke waarneming, dus ook voor
rechtsgeldige constatering door een Notaris, niet vetbaar is “, HgH
Batavia 26 Juli 1928, dimuat dalam T. 131 : 282.
(6).
C. Asser – J.H. Beekhuis, Handleiding tot de beoefening van het
Nederlands Burgelijk Recht, Zakenrecht, Algemeen Deel, hal. 76.
(7). R.v.J. Surabaya 11 Januari 1924, dalam T. 123 : 484
Tidak ada komentar:
Posting Komentar