Peningkatan Hak Untuk Rumah Tinggal.
PENINGKATAN HAK MILIK
Atas RUMAH TINGGAL TYPE RS / RSS**
Beberapa
waktu yang lalu, para User Perumahan Nabila Permai Limboto, mengajukan
klaim ke BPN Kab. Gorontalo atas status Hak Guna Bangunan ( HGB ) yang
diberikan kepada mereka. Mereka menghendaki agar status HGB langsung
ditingkatkan menjadi Hak Milik ( HM ), dengan alasan bahwa mereka adalah
kaum "wong cilik" dan telah melunasi beaya peningkatan hak melalui Developer.
Image : www.jelajahunik.blogspot.com
Namun hingga kini BPN Kab. Gorontalo belum menindaklanjuti permohonan
dimaksud, bahkan salah seorang pejabatnya mengomentari bahwa proses
peningkatan HM tesebut baru dapat diproses setelah kreditnya lunas. Hal
itu berarti bahwa keinginan para User baru akan terwujud dalam kurun
waktu 10 - 15 Tahun yang akan datang ( tergantung lamanya masa angsuran
KPR - BTN ). Secara kasat mata, agak sulit untuk menilai siapa yang
keliru dalam kasus tersebut, untuk itu diperlukan "kacamata
konstitusional" agar kasusnya dapat terurai dengan jelas secara
objektif.
Semangat UUPA.
Image : www.klikunic.com
UU No. 5 / 1960 beserta seperangkat aturan keagariaan lainnya pada hakekatnya menganut semangat yang luhur, yaitu jaminan perlindungan hukum bagi masyarakat golongan ekonomi lemah, hal ini terlihat dalam beberapa pasal UUPA antara lain Pasal 11 ayat 2, yang menegaskan :
"
Perbedaan dalam keadaan masyarakat dan keperluan hukum golongan rakyat
dimana perlu dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional
diperhatikan, dengan menjamin perlindungan terhadap kepentingan golongan
yang ekonomi lemah ".
Dengan
berbekal semangat luhur ini, Pemerintah Pusat melalui Kementerian
Negara Agraria / Badan Pertanahan Nasional, menggagas suatu kebijakan
untuk memberikan fasilitas kemudahan dalam mengurus dan memperoleh
sesuatu hak atas tanah yang dapat memberikan kepastian jaminan hukum
untuk rumah tinggal, khususnya kapling kecil yang kebanyakan dimiliki
oleh masyarakat golongan ekonomi lemah, melalui lembaga Peningkatan Hak, dari status HGB menjadi HM.
Akan
tetapi ide positif ini sempat menimbulkan keraguan, terutama jika
diperhadapkan pada masalah perolehan rumah yang didapat melalui
fasilitas Kredit Kepemilikan Rumah ( KPR ). Para Kreditur ( Bank )
sebagai pihak yang mengucurkan dana KPR merasa keberatan atas
peningkatan hak dimaksud tanpa didahului dengan pelunasan kredit.
Hal
ini dapat dimaklumi, karena UU No. 4 / 1996 tentang Hak Tanggungan Atas
Benda - Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, dalam Pasal menegaskan bahwa
:
" Hak tanggungan hapus dengan sendirinya apabila hak atas tanah yang dibebaninya hapus ".
Sehingga
wajar saja apabila Keditur ( terlebih - lebih Bank milik Pemerintah )
merasa was - was bila dana KPR yang telah dikucurkan akan sulit kembali.
Peningkatan Hak.
Bercermin
pada masalah dimaksud, akhirnya Pemerintah Pusat berhasil menelurkan
suatu paket kebijakan yang melindungi kepentingan masyarakat golongan
ekonomi lemah tanpa merugikan pihak Keditur, berupa Pemberian HM atas
rumah tinggal type Rumah Sederhana / Rumah Sangat Sederhana ( RS / RSS ),
yang secara detail dirumuskan dalam beberapa Peraturan / Keputusan /
Instruksi - Menteri Negara Agraria / Kepala BPN ( PMNA/KBPN - KMNA/KBPN -
IMNA/KBPN ), seperti :
- KMNA / KPBN No. 9 / 1997 tentang Pemberian HM Atas Tanah untuk RS / RSS.
- KMNA / KBPN No. 15 / 1997 tentang Perubahan KMNA / KBPN No. 9/1997 tentang Pemberian HM ............
- KMNA / KBPN No. 1 / 1998 tentang Perluasan Pemberian HM Atas Tanah ................
- PMNA / KBPN No. 5 / 1998 tentang Perubahan HGB / HP Atas Tanah untuk Rumah Tinggal Yang Dibebani Hak Tanggungan Menjadi HM.
- IMNA / KBPN No. 4 / 1998 tentang Percepatan Pelayanan Pendaftaran HM Atas Tanah untuk Tempat Tinggal.
Rumah Type RS / RSS.
Selanjutnya
masyarakat juga perlu memahami apa, bagaimana dan bilamanakah proses
pemberian HM atas rumah tinggal type RS / RSS dilaksanakan ?. Jawabannya
dapat dijumpai dalam ke 5 Aturan tersebut diatas seperti berikut ini :
Yang dimaksud dengn rumah tinggal Type RS / RSS adalah :
- Harga tidak lebih dari Rp. 30.000.000,-
- Luas tanah tidak lebih dari 200 M2 ( Perkotaan ), 400 M2 ( Pedesaan )
- Diatas tanahnya telah dibangun rumah tinggal ( bukan tanah kosong ).
Adapun waktu pelaksanaan peningkatan haknya dari HGB menjadi HM adalah :
- Bagi User yang sudah memegang Sertifikat HGB, termasuk Sertifikat yang untuk sementara berada dalam tangan Kreditur, pelaksanaannya pada saat diundangkannya ke 5 Peraturan tersebut diatas
- Bagi User yang belum memegang Sertifikat ( sebab Sertifikat Induk masih atas nama Developer ), proses peningkatan HGBnya dilakukan secara bersamaan pada saat sertifikat induk dipecah - pecah ( dipisahkan ) dan langsung dibaliknamakan untuk dan atas nama User.
Image : www.bandung-hotel.com
Pihak Kreditur memberikan persetujuan dan Pihak User memberikan kuasa untuk memasang hak tanggungan ( Pasal 2 dan 3 PMNA / KBPN No. 5 / 1998 ).
Kantor
Pertanahan Kabupaten / Kota tidak boleh menolak, apalagi "mempetieskan"
permohonan peningkatan hak dimaksud, malahan harus lebih mempercepat
prosesnya sesuai dengan jangka waktu yang telah ditetapkan ( IMNA / KBPN
No. 4 / 1998 ).
Dengan
telah ditetapkannya aturan tentang peningkatan hak untuk rumah tinggal
type RS/RSS ini, selanjutnya menjadi tugas aparatur BPN untuk
mensosialisasikan aturan ini kepada masyarakat ( termasuk Developer
& Kreditur ) agar mereka mengetahui apa saja yang menjadi hak dan
kewajiban dalam rangka kepengurusan peningkatan HM mereka.
Ironis.
Sesungguhnya
Pemerintah memiliki "goodwill" untuk melaksanakan missi mulia UUPA
yaitu memperhatikan dan melindungi masyarakat golongan ekonomi lemah,
dan komitmen untuk itu telah ditunjukkan, dengan dilahirkannya lembaga
peningkatan HM untuk rumah tinggal type RS / RSS, yang harus segera
diimplementasikan dalam praktek keseharian.
Namun,
yang menjadi masalah adalah "penyakit birokrasi" seperti yang sering
terlihat dalam praktek, bahwa masih terdapat segelintir kecil oknum
aparat yang bermental priyayi, akibat ketidakpedulian terhadap peraturan
perundangan, yang nota bene merupakan pedoman baginya dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat. Sehingga dalam memerankan fungsinya sebagai
"Pelayan masyarakat" sering meleset menjadi "Tuan yang dilayani".
Jika
kondisi birokrasi seperti ini dibiarkan terjadi secara terus menerus
tanpa ada langkah progresif, niscaya akan bermuara pada ridiculous circumstance, alias keadaan mengambang tanpa ada kepastian, yang menggelikan sekaligus menjengkelkan !.
sumber :landsdiary
Tidak ada komentar:
Posting Komentar