Jual Beli Tanah Pura-Pura
Jawaban:
1. Akte Pengikatan Jual Beli (APJB) sendiri tidak dengan serta merta
memindahkan hak atas tanah. APJB hanya merupakan perjanjian bahwa kedua
belah pihak akan melakukan jual beli hak atas tanah. Jual beli tanah
baru terjadi dengan dibuatnya Akta Jual Beli Tanah (AJB) di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Hal ini sesuai dengan pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah:
“Peralihan
hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli,
tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum
pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”
Dalam APJB, memang biasanya dibuatkan kuasa-kuasa khusus untuk menjual. Akan tetapi, yang dibuat bukan Akta Kuasa Luas sebagaimana Anda sebutkan. Coba cek kembali akta tersebut, apakah yang dimaksudkan adalah surat kuasa umum ataukah surat kuasa mutlak?
Surat kuasa umum tidak boleh dipakai dalam jual beli tanah. Jual beli tanah harus menggunakan surat kuasa khusus. Akan tetapi, surat kuasa khusus tersebut tidak boleh berupa surat kuasa mutlak. Larangan surat kuasa mutlak ini diatur dalam Instruksi Mendagri No. 14 Tahun 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah.
Kuasa mutlak sendiri adalah kuasa
yang di dalamnya mengandung unsur tidak dapat ditarik kembali oleh
pemberi kuasa. Kuasa seperti ini tidak boleh digunakan untuk tindakan
hukum pemindahan hak atas tanah.
Jadi, hak milik atas tanah dan bangunan belum beralih dengan adanya APJB dan Akta Kuasa Luas tersebut.
2. Karena hak milik atas tanah dan bangunan belum beralih, maka rumah dan tanah tersebut masih milik kedua orangtua Anda.
3. Pengaturan
tentang rentenir belum ada hukum pidana kita. Rentenir masih masuk
dalam ranah hukum perdata, yaitu mengenai bunga yang terlampau tinggi.
Menurut Pheo M. Hutabarat dan Asido M. Panjaitan dalam “The International Comparative Legal Guide To International Arbitration 2006”, bunga yang terlampau tinggi ini diatur dalam Woeker Ordonanntie 1938 (Staatsblad Tahun 1938 No. 524). Dalam ordonansi ini diatur bahwa apabila antara kewajiban-kewajiban bertimbal-balik dari kedua belah pihak, dari semula terdapat suatu ketidak-seimbangan yang luar biasa, sedangkan satu pihak berbuat karena kebodohan dan keadaan terpaksa, yang telah disalahgunakan oleh pihak-lawannya, maka si berutang dapat meminta kepada hakim untuk menurunkan bunga yang telah diperjanjikan ataupun untuk membatalkan perjanjiannya.
Demikian sepanjang yang kami tahu. Semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
- Woeker Ordonanntie 1938 (Staatsblad Tahun 1938 No. 524)
- Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah
- Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter sumber@klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar