Sabtu, 08 September 2012

Perkaban Nomor 1 Th 2006 ttg Ketentuan Pelaksanaan PP No 37 Th 1998 Ttg PPAT


PERATURAN KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL
NOMOR 1 TAHUN 2006
TENTANG
KETENTUAN PELAKSANAAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 37 TAHUN 1998 TENTANG PERATURAN JABATAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH

1. Apabila suatu wilayah kabupaten/ kota dipecah menjadi 2 (dua) atau lebih wilayah kabupaten/kota, maka dalam waktu 1 (satu) tahun sejak diundangkannya undang-undang tentang pembentukan kabupaten/kota yang baru, PPAT yang daerah kerjanya adalah kabupaten/kota semula harus memilih salah satu wilayah kabupaten/kota sebagai daerah kerjanya, dengan ketentuan bahwa apabila pemilihan tersebut tidak dilakukan pada waktunya, maka mulai 1 (satu) tahun sejak diundangkannya undang-undang pembentukan kabupaten/kota baru tersebut daerah kerja PPAT yang bersangkutan hanya meliputi wilayah kabupaten/kota letak kantor PPAT yang bersangkutan.

2. Pemilihan daerah kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dengan sendirinya mulai 1 (satu) tahun sejak diundangkannya undang-undang pembentukan kabupaten/kota yang baru.
3. Apabila Kantor Pertanahan untuk wilayah pemekaran masih merupakan kantor perwakilan, terhadap PPAT yang memilih daerah kerja asal atau daerah kerja pemekaran masih dapat melaksanakan pembuatan akta meliputi wilayah Kantor Pertanahan induk dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak diundangkannya undang-undang pembentukan kabupaten/kota yang bersangkutan.
4. PPAT yang diangkat dengan daerah kerja kabupaten/kota pemekaran sedangkan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota pemekaran belum terbentuk, maka PPAT yang bersangkutan hanya berwenang membuat akta di daerah kerja sesuai dengan pengangkatannya.
5. PPAT diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Kepala Badan karena :
a. permintaan sendiri;
b. tidak lagi mampu menjalankan tugas karena keadaan kesehatan badan atau kesehatan jiwanya, setelah dinyatakan oleh tim pemeriksa kesehatan berwenang atas permintaan Kepala Badan atau pejabat yang ditunjuk;
c. melakukan pelanggaran ringan terhadap larangan atau kewajiban sebagai PPAT;
d. diangkat sebagai PNS atau anggota TNI/POLRI.
6. PPAT diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya oleh Kepala Badan, karena :
a. melakukan pelanggaran berat terhadap larangan atau kewajiban sebagai PPAT;
b. dijatuhi hukuman kurungan/penjara karena melakukan kejahatan perbuatan pidana yang diancam hikuman kurungan atau penjara paling lama 5 (lima) tahun atau lebih berat berdasarkan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap;
c. melanggar kode etik profesi.
7. Pelanggaran ringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c antara lain :
a. memungut uang jasa melebihi ketentuan peraturan perundangundangan;
b. dalam waktu 2 (dua) bulan setelah berakhirnya cuti tidak melaksanakan tugasnya kembali sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 42 ayat (5) peraturan ini;
c. tidak menyampaikan laporan bulanan mengenai akta yang
dibuatnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62;
d. merangkap jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1); dan
e. lain-lain yang ditetapkan oleh Kepala Badan.
8. Pelanggaran berat sebagaimana dinaksud pada ayat (2) huruf a, antara lain:
a. membantu melakukan permufakatan jahat yang mengakibatkan sengketa atau konflik pertanahan;
b. melakukan pembuatan akta sebagai permufakatan jahat yang mengakibatkan sengketa atau konflik pertanahan;
c. melakukan pembuatan akta di luar daerah kerjanya kecuali yang dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 6 ayat (3);
d. memberikan keterangan yang tidak benar di dalam akta yang mengakibatkan sengketa atau konflik pertanahan;
e. membuka kantor cabang atau perwakilan atau bentuk lainnya yang terletak di luar dan atau di dalam daerah kerjanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46;
f. melanggar sumpah jabatan sebagai PPAT;
g. pembuatan akta PPAT yang dilakukan, sedangkan diketahui oleh PPAT yang bersangkutan bahwa para pihak yang berwenang melakukan perbuatan hukum atau kuasanya sesuai peraturan perundang-undangan tidak hadir dihadapannya;
h. pembuatan akta mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas satuan Rumah Susun yang oleh PPAT yang bersangkutan diketahui masih dalam sengketa yang mengakibatkan penghadap
yang bersangkutan tidak berhak melakukan untuk perbuatan hukum yang dibuktikan dengan akta;
i. PPAT tidak membacakan aktanya dihadapan para pihak maupun pihak yang belum atau tidak berwenang melakukan perbuatan sesuai akta yang dibuatnya;
j. PPAT membuat akta dihadapan para pihak yang tidak berwenang melakukan perbuatan hukum sesuai akta yang dibuatnya;
k PPAT membuat akta dalam masa dikenakan sanksi pemberhentian sementara atau dalam keadaan cuti;
l. lain-lain yang ditetapkan oleh Kepala Badan.
9. PPAT mempunyai hak :
a. cuti;
b. memperoleh uang jasa (honorarium) dari pembuatan akta sesuai Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998;
c. memperoleh informasi serta perkembangan peraturan perundang-undangan pertanahan;
d. memperoleh kesempatan untuk mengajukan pembelaan diri sebelum ditetapkannya keputusan pemberhentian sebagai PPAT.
10. PPAT mempunyai kewajiban :
a. menjunjung tinggi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan
Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. mengikuti pelantikan dan pengangkatan sumpah jabatan sebagai PPAT;
c. menyampaikan laporan bulanan mengenai akta yang dibuatnya kepada Kepala Kantor Pertanahan, Kepala Kantor Wilayah dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan setempat paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya;
d. menyerahkan protokol PPAT dalam hal :
d.1. PPAT yang berhenti menjabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) kepada PPAT di daerah kerjanya atau kepada Kepala Kantor Pertanahan;
d.2. PPAT Sementara yang berhenti sebagai PPAT Sementara kepada PPAT Sementara yang menggantikannya atau kepada Kepala Kantor Pertanahan;
d.3. PPAT Khusus yang berhenti sebagai PPAT Khusus kepada PPAT Khusus yang menggantikannya atau kepada Kepala Kantor Pertanahan.
e. membebaskan uang jasa kepada orang yang tidak mampu, yang dibuktikan secara sah;
f. membuka kantornya setiap hari kerja kecuali sedang melaksanakan cuti atau hari libur resmi dengan jam kerja paling kurang sama dengan jam kerja Kantor Pertanahan setempat;
g. berkantor hanya di 1 (satu) kantor dalam daerah kerja sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pengangkatan PPAT;
h. menyampaikan alamat kantornya, contoh tanda tangan, contoh paraf dan teraan cap/stempel jabatannya kepada Kepala Kantor Wilayah, Bupati/ Walikota, Ketua Pengadilan Negeri dan Kepala Kantor Pertanahan yang wilayahnya meliputi daerah kerja PPAT yang bersangkutan dalam waktu 1 (satu) bulan setelah pengambilan sumpah jabatan;
i. melaksanakan jabatan secara nyata setelah pengambilan sumpah jabatan;
j. memasang papan nama dan menggunakan stempel yang bentuk dan ukurannya ditetapkan oleh Kepala Badan;
k. lain-lain sesuai peraturan perundang-undangan.
10. Sebelum pembuatan akta mengenai perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a sampai dengan huruf g, PPAT wajib melakukan pemeriksaan kesesuaian/ keabsahan sertipikat dan catatan lain pada Kantor Pertanahan setempat dengan menjelaskan maksud dan tujuannya.
11. Dalam pembuatan akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) PPAT tidak diperbolehkan memuat kata-kata “sesuai atau menurut keterangan para pihak” kecuali didukung oleh data formil.
12. PPAT berwenang menolak pembuatan akta, yang tidak didasari data formil.
13. PPAT tidak diperbolehkan membuat akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a sampai dengan huruf g, atas sebagian bidang tanah yang sudah terdaftar atau tanah milik adat, sebelum diukur oleh Kantor Pertanahan dan diberikan Nomor Identifikasi Bidang Tanah (NIB).
14. Dalam pembuatan akta, PPAT wajib mencantumkan NIB dan atau nomor hak atas tanah, nomor Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) PBB, penggunaan dan pemanfaatan tanah sesuai dengan keadaan lapangan.
15. Laporan bulanan PPAT dibuat sebagaimana dimaksud pada contoh dan ketentuan dalam Keputusan Bersama Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional dan Direktur Jenderal Pajak Nomor : SKB 2 Tahun 1998/ KEP-179/PJ./1998
16. Pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas PPAT dilakukan oleh Kepala Badan.
17. Pembinaan dan pengawasan PPAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam pelaksanaannya oleh Kepala Badan, Kepala Kantor Wilayah dan Kepala Kantor Pertanahan.
18. Pembinaan dan pengawasan terhadap PPAT yang dilakukan oleh Kepala Badan sebagai berikut :
a. memberikan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas jabatan PPAT;
b. memberikan arahan pada semua pemangku kepentingan yang berkaitan dengan ke-PPAT-an;
c. melakukan pembinaan dan pengawasan atas organisasi profesi PPAT agar tetap berjalan sesuai dengan arah dan tujuannya;
d. menjalankan tindakan-tindakan lain yang dianggap perlu untuk memastikan pelayanan PPAT tetap berjalan sebagaimana mestinya;
e. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap PPAT dan PPAT Sementara dalam rangka menjalankan kode etik profesi PPAT.
19. Pembinaan dan pengawasan terhadap PPAT yang dilakukan oleh Kepala Kantor Wilayah sebagai berikut:
a. menyampaikan dan menjelaskan kebijakan dan peraturan pertanahan serta petunjuk tehnis pelaksanaan tugas PPAT yang telah ditetapkan oleh Kepala Badan dan peraturan  perundang-undangan yang berlaku;
b. membantu melakukan sosialisasi, diseminasi kebijakan dan peraturan perundang-undangan pertanahan atau petunjuk tehnis;
c. secara periodik melakukan pengawasan ke kantor PPAT guna memastikan ketertiban administrasi, pelaksanaan tugas dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan ke-PPAT-an.
20. Pembinaan dan pengawasan terhadap PPAT yang dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan sebagai berikut :
a. membantu menyampaikan dan menjelaskan kebijakan dan peraturan pertanahan serta petunjuk tehnis pelaksanaan tugas PPAT yang telah ditetapkan oleh Kepala Badan dan peraturan perundang-undangan;
b. memeriksa akta yang dibuat PPAT dan memberitahukan secara tertulis kepada PPAT yang bersangkutan apabila ditemukan akta yang tidak memenuhi syarat untuk digunakan sebagai dasar pendaftaran haknya;
c. melakukan pemeriksaan mengenai pelaksanaan kewajiban operasional PPAT.
Mempelajari peraturan ini, ada beberapa catatan penting yang harus menjadi perhatian Kepala Badan Pertanahan Nasional, terutama para Bupati/ Walikota, antara lain :
1. Bagi Kepala Badan, yaitu :
a. agar dapat segera merevisi kembali peraturan ini untuk disesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, terutama menyangkut kewajiban pelaporan peralihan hak atas tanah dan atau bangunan sehingga penyerahan kewenangan pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan atau Bangunan dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan. Hal ini mengingat lemahnya peran koordinasi aparatur pemerintah daerah kabupaten/ kota dengan badan ini, apalagi bagi daerah-daerah yang memiliki potensi kecil penerimaan BPHTB dimaksud. Karena bagi sebahagian besar daerah, kata “koordinasi” berimplikasi bagi biaya/ belanja/ pengeluaran. Yang mana diharapkan aturan dimaksud memuat kewajiban PPAT untuk menyampaikan laporan peralihan hak dan mempedomani SPPT PBB dalam pembuatan akta, serta sanksi atas pelanggaran dimaksud;
b. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa pungutan uang jasa (honorarium) PPAT dan PPAT Sementara dipungut tidak sesuai sebagaimana diatur dalam peraturan pemerintah nomor 37 Tahun 1998, sehingga diharapkan untuk dilakukan pemantauan dan pengawasan yang lebih ketat. Sepertinya selama ini pihak BPN terutama Kantor Pertanahan menutup mata atas kasus ini. Mengingat adanya daerah-daerah yang NJOP tanahnya rendah, maka ketentuan uang jasa ini sebaiknya diatur kembali sehingga menutip celah bagi PPAT untuk melakukan pungutan yang tidak sesuai atau dengan kata lain peraturan pemerintah tentang peraturan jabatan PPAT tersebut direvisi;
c. Perlu segera menerbitkan surat atau Peraturan Kepala Badan mengenai kewajiban pelaporan dan sanksi administrasi bagi Kepala Kantor Pertanahan bagi pelanggaran peraturan daerah/ qanun tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan;
2. Bagi Bupati/ Walikota, antara lain :
a. Mendorong Kepala Badan Pertanahan Nasional segera menerbitkan peraturan atau ketentuan sebagaimana yang kami usulkan kepada Kepala Badan diatas;
b. Dalam hal Kepala Badan mengabaikan saran dan masukan untuk menerbitkan regulasi menyangkut Bea Perolehan Hak, maka seyogyanya mendorong DPR-RI dan DPD-RI atau bahkan bila perlu Presiden untuk mendorong dan memerintahkan Kepala Badan untuk segera menerbitkan regulasi dimaksud.
c. Dalam hal, DPR-RI, DPD-RI atau mungkin Presiden mengabaikan usulan Bupati/ Walikota, maka seyogyanya Bupati/ Walikota menyampaikan informasi  tersebut kepada masyarakat agar masyarakat dapat menilai kinerja para wakilnya di DPR-RI, DPD-RI dan Presiden sehingga apakah anggota DPR-RI, DPD-RI atau Presiden/ Parpol dimaksud layak untuk diberikan mandat oleh rakyat masing-masing daerah kabupaten/ kota;
Mudah-mudahan tulisan ini menjadi perhatian kita semua agar daerah lebih mandiri untuk membiayai daerahnya sehingga diharapkan lebih maju dan berkembang. Dan tentunya harapan kita semua, penerimaan BPHTB dimaksud dikelola oleh Pemerintah Kabupaten/ Kota sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat di daerahnya masing-masing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar