Kamis, 13 September 2012

Kepemilikan Properti (Kaitannya dengan Pernikahan dengan Pria WNA)

Selasa, 25 Agustus 2009
Pertanyaan:
Kepemilikan Properti (Kaitannya dengan Pernikahan dengan Pria WNA)
Mohon advis sehubungan dengan adanya Undang-undang Imigrasi yang baru (UU Nomor 12 Tahun 2006) :
1. Bagaimana caranya wanita Indonesia yang menikah dengan pria WNA dapat tetap mempertahankan menjadi WNI?
2. Bila saya tetap WNI apakah saya bisa menjadi ahli waris dari rumah orang tua saya setelah menikah dengan pria WNA (Perancis)? Apakah diperlukan perjanjian pra-nikah supaya memperkuat bahwa harta warisan yang diterima tidak jatuh ke tangan (calon) suami karena dia WNA?

cakra010

Jawaban:
http://static.hukumonline.com/frontend/default/images/gravatar-140.png
Berikut ini penjelasan kami untuk menjawab pertanyaan di atas:
 
Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 adalah UU tentang Kewarganegaraan, bukan UU tentang Imigrasi (UU No. 9 Tahun 1992). Menurut UU Kewarganegaraan, perempuan WNI yang menikah secara sah dengan laki-laki WNA tetap dapat menjadi WNI dengan membuat pernyataan tertulis kepada pejabat atau perwakilan RI di tempat kedudukan suami [pasal 26 ayat 3 UU Kewarganegaraan]. Surat pernyataan tersebut diajukan perempuan WNI setelah tiga tahun sejak tanggal perkawinan berlangsung [pasal 26 ayat (4) UU Kewarganegaraan].
 
Apabila perempuan WNI yang terikat perkawinan sah dengan laki-laki WNA, memperoleh hak-hak atas tanah berupa Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Strata Title di atas tanah HGB, baik karena pewarisan, peralihan hak melalui jual beli, hibah atau wasiat, maka dia wajib melepaskan hak-haknya dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak-hak tersebut [pasal 21 ayat (3) UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria atau UU PA]. Pelepasan hak tersebut adalah dengan cara menjual atau menghibahkan hak-hak atas tanah tersebut.
 
Jika jangka waktu tersebut lewat/dilepaskan, maka hak-hak tersebut hapus karena hukum dan tanah-tanah tersebut jatuh pada negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebani tetap berlangsung [pasal 21 ayat (3) UU PA]. Ketentuan tersebut dapat dikecualikan dengan adanya perjanjian kawin pisah harta yang dibuat sebelum perkawinan berlangsung. Perjanjian kawin tersebut dibuat secara notariil yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, yaitu baik di Kantor Urusan Agama (KUA) maupun Kantor Catatan Sipil (pasal 29 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Dalam hal akta perjanjian kawin tersebut tidak disahkan pada pegawai pencatat perkawinan terkait, maka secara hukum, perkawinan yang berlangsung tersebut dianggap sebagai perkawinan percampuran harta.
 
Demikian penjelasan kami. Semoga bermanfaat.
 
 
Peraturan perundang-undangan terkait:
 
1.      UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan.
2.      UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
3.      UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter sumber@klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar