Jawaban:
Berdasarkan Pasal 874 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”),
segala harta peninggalan seseorang yang meninggal dunia, adalah
kepunyaan para ahli warisnya menurut undang-undang, sejauh mengenai hal
itu dia belum mengadakan ketetapan yang sah.
Ketika
Tante Saudara ingin menetapkan harta warisannya (dalam hal ini rumah)
untuk diberikan kepada ahli waris tertentu, atau dengan kata lain dia
ingin melakukan hibah wasiat, harus dibuat surat wasiat.
Surat
wasiat atau testamen adalah sebuah akta berisi pernyataan seseorang
tentang apa yang dikehendakinya terjadi setelah ia meninggal, yang dapat
dicabut kembali olehnya (Pasal 875 KUHPer).
Lebih jauh dijelaskan oleh J. Satrio dalam bukunya Hukum Waris (hal. 181), ditinjau dari bentuknya –formil– suatu testamen merupakan suatu akta yang memenuhi syarat Undang-Undang
(Pasal 930 dst). Ditinjau dari isinya –materiil- testamen merupakan
suatu pernyataan kehendak, yang baru mempunyai akibat/berlaku sesudah si
pembuat testamen meninggal dunia, pernyataan mana pada waktu si pembuat
masih hidup dapat ditarik kembali secara sepihak.
Merujuk pada Pasal 931 KUHPer,
surat wasiat hanya boleh dibuat, dengan akta olografis atau ditulis
tangan sendiri, dengan akta umum atau dengan akta rahasia atau akta
tertutup. Berikut penjelasan singkatnya:
- Wasiat Olografis, ditulis tangan dan ditandatangani oleh pewaris sendiri kemudian dititipkan kepada notaris (lihat Pasal 932-937 KUHPer);
- Surat wasiat umum atau surat wasiat dengan akta umum harus dibuat di hadapan notaris (lihat Pasal 938-939 KUHPer);
- Surat wasiat rahasia atau tertutup pada saat penyerahannya, pewaris harus menandatangani penetapan-penetapannya, baik jika dia sendiri
yang menulisnya ataupun jika ia menyuruh orang lain menulisnya; kertas
yang memuat penetapan-penetapannya, atau kertas yang dipakai untuk
sampul, bila digunakan sampul, harus tertutup dan disegel dan diserahkan
kepada Notaris, di hadapan empat orang saksi untuk dibuat akta
penjelasan mengenai hal itu (lihat Pasal 940 KUHPer).
Lebih jauh simak artikel Prosedur Membuat Hibah Wasiat.
Secara
formil, dari beberapa ketentuan KUHPer yang disebutkan di atas, surat
wasiat harus dibuat tertulis di hadapan Notaris atau dititipkan/disimpan
oleh Notaris.
Untuk
akta di bawah tangan yang seluruhnya ditulis, diberi tanggal dan
ditandatangani oleh pewaris, dapat ditetapkan wasiat, tanpa
formalitas-formalitas lebih lanjut hanya untuk pengangkatan para
pelaksana untuk penguburan, untuk hibah-hibah wasiat tentang
pakaian-pakaian, perhiasan-perhiasan badan tertentu, dan
perkakas-perkakas khusus rumah (Pasal 935 KUHPer).
Dengan
kata lain, wasiat yang dibuat dengan akta di bawah tangan (bukan dengan
akta Notariil) tidaklah untuk barang-barang atau harta selain dari
pakaian-pakaian, perhiasan-perhiasan badan tertentu, dan
perkakas-perkakas khusus rumah.
Syarat-syarat formalitas yang ditetapkan dalam pasal-pasal yang disebutkan di atas harus dilaksanakan. Bila tidak, surat wasiat tersebut diancam dengan kebatalan (Pasal 953 KUHPer).
Di sisi lain, untuk orang Islam, ketentuan mengenai wasiat diatur dalam Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”).KHI tidak mensyaratkan pembuatan wasiat harus tertulis. Pasal 195 ayat (1) KHI menyebutkan, wasiat dilakukan secara lisan di hadapan dua orang saksi, atau tertulis di hadapan dua orang saksi, atau di hadapan notaris.
Kami
kurang jelas apakah wasiat Tante Saudara jelas menyebutkan nama ahli
waris yang dikehendakinya secara spesifik, atau sekedar menyebut
kemenakan saja, tapi sesuai Pasal 196 KHI
dalam wasiat yang dibuat secara tertulis maupun lisan harus disebutkan
dengan tegas dan jelas siapa atau siapa-siapa atau lembaga apa yang
ditunjuk akan menerima harta benda yang diwasiatkan.
Sehingga,
jika nama kemenakan yang dimaksud oleh Tante Saudara sudah jelas, maka
kemenakan yang lain tidak mempunyai hak atas warisan (rumah) tersebut
kecuali disetujui atau dibagi oleh si penerima warisan yang disebutkan
dalam wasiat Tante Saudara. Hal ini dipertegas dalam Pasal 885 KUHPer bahwa
bila kata-kata sebuah surat wasiat telah jelas, maka surat itu tidak
boleh ditafsirkan dengan menyimpang dan kata-kata itu.
Baik
wasiat menurut KUHPer maupun menurut KHI, harus memenuhi syarat formil
pembentukannya yaitu menurut KUHPer harus dibuat secara tertulis dengan
dua orang saksi dan melalui Notaris, sedangkan menurut KHI bisa berupa
lisan maupun tulisan tetapi tetap harus dihadapan dua orang saksi atau notaris. Ketika surat wasiat itu dibuat tidak memenuhi syarat formil, maka surat wasiat tersebut terancam batal. Dan surat wasiat tersebut tidak dapat diubah karena pewaris telah meninggal dunia.
Dengan
batalnya surat wasiat, maka pembagian waris akan mengikuti sistem yang
dianut, apakah sistem hukum Islam, waris perdata (BW) atau waris adat
yang bisa Saudara baca dalam artikel Keabsahan Hibah Harta Peninggalan Istri Pertama Kepada Istri Kedua, Hak Waris Kakak dan Adik, dan Bagaimana Penentuan Ahli Waris Dari Pewaris Tanpa Keturunan?
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
2. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter sumber@klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar