Sabtu, 06 Oktober 2012

UPAYA PENYELESAIAN KONFLIK PERTANAHAN DI INDNESIA DALAM RANGKA PEMBENTUKAN UU PERTANAHAN

UPAYA  PENYELESAIAN KONFLIK PERTANAHAN DI INDNESIA
DALAM RANGKA PEMBENTUKAN UU PERTANAHAN





Oleh :
Prof.DR.Abdul Gani Abdullah,SH
Guru Besar Ilmu Peradilan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Hakim Agung Mahkamah Agung RI










Disampaikan pada Seminar Nasional Pertanahan
dalam rangka menyongsong lahirnya Undang Undang Pertanahan
 yang diselenggarakan oleh Universitas Jayabaya dan IPPAT
pada tanggal  14 Juli 2012 di Jakarta








                Sengketa pertanahan yang dapat dilihat pada berbagai kasus hukum yang ditemukan tanpak terjadi karena berbagai sebab.
                              
                                PERTAMA :
                        Pemberian hak atas tanah negara kepada seseorang atau badan
                        Hukum (dahulunya) dilakukan oleh menteri, dan sekarang telah
                        menjadi kewenangan  bupati/walikota, melahirkan sengketa per
                        tanahan berupa:
(1) Bupati/walikota karena kekurangan referensi pertanahan me
ngeluarkan  keputusan pemberian hak kepada orang lain atau badan hukum, ata sebuah biudang tanah yang masih melekat hak orang lain atau badan hukum;
(2) Luas lahan  yang diberikan hak atasnya oleh alasan (1) meliwati atau melintas di lahan orang lain atau terjadinya
tumpang-tindih hak atas lahan yang sama;
(3) Pemberian hak tersebut tidak didahului oleh pemeriksaan
setempat dan tanpa disaksikan oleh pemilik hak yang  berba-
tasan dengan lahan yang akan diberikan hak baru;
(4) Bupati/walikota mencabut hak atas suatu lahan dan selanjut
nya diberikan kepada orang/badan hukum yang lain;
(5) Atas lahan yang melekat hak ditelantarkan diberikan hak kepada  seseorang/badan hukum yang lain.

KEDUA :
Sengketa pertanahan dari hak kebendaan seseorang yang lahir melalui hubungan hukum kewarisan , berupa :
(1)tanah warisan yang sebelumnya telah melekat hak hibah atau
     wasiat yang melebihi batas hak menurut Syariat;
(2)warisan yang belum dibagi dikuasai oleh salah seorang ahli wa
    risan;       
(3)bagian dari tanah warisan yang belum dibagi dijual oleh ahli                     
                                       waris yang menguasai tadi tanpa diketahui ahli waris lain;

                        (4)pada saat dibagi waris, sebagian lahan atas dasar hibah telah
                             dijual oleh olehnya tanpa diketahui ahli waris lainnya;
                        (5)setelah dibagi waris baru diketahui adanya wasiat pewaris
                             kepada seseorang yang bukan ahli waris karena (umpamanya)
                          hutang piutang atau alasan lain;
                        (6)keputusan pengadilan yang tidak memberikan kepastian hu-
     hukum (contoh : pengadilan tingkat pertama memutuskan pe
     bagian warisan dibatalkan pengadilan banding tanpa menga-
     dili sendiri, kemudian tingkat kasasi di NO karena cacat                        formal, dan ditingkat PK ditolak PK nya) , sehingga sengketa
     pertanahan berlanjut di antara ahli waris;
(7)sebagian tanah warisan itu dijual oleh salah satu ahli waris        
     tanpa persetujuan ahli waris lainnya (menjual tanah sengketa
     sementara hukum harus melindungi pembeli yang beriktikad
     baik;
(8)indikator pembeli beriktikad baik belum di atur di dalam suatu
    ketentuan UU, hanya ditemukan di dalam yurisprudensi;
(9)tanah warisan yang belum dibagi oleh salah seorang ahli waris
     diagunkan karena kerdit bank dan pada tanah tersebut telah
     diletakkan  hak tanggungan.

KETIGA :
Sengketa pertanahan  berkait dengan   akta PPAT/Notaris:
(1) Formulasi akta jual belum memancing untuk selalu dicoret-
coret dan ternyata dicoret sehingga secara hukum akta de-
mikian  mengandung cacat hukum;
(2)karena itu sangat diperlukan formulasi tanpa cacat hukum pd
     setiap akta jual beli , sebab apabila di dalam sengketa perta-
     tanahan di pengadakan terdapat petitum cacat hukum dapat
     dikabulkan yang mengancam batalnya jual beli;
(3)di dalam undang-undang pertanahan diperlukan ada nya ke-
     tentuan hukum mengenai formulasi akta jual beli;
(4)persoalan hukum timbul ketika terjadi benturan kewenangtan
     Pembuatan akta autentiik mengenai pertanahan pada satu sisi
    harus dibuat oleh pejabat publik yang diberikan kewenangan
    oleh undang undang  untuk itu, semenatara pada segi yang
    lain akta jual beli dibuat oleh PPAT dan ia harus berbabasis  se-
    orang notaris dan di situlah  alasan mengapa akta jual beli di-
    buat oleh  dan dihadapan notaris.
(5)sebelum diterbitkan akta jual beli, kadang-kadang atau selalu
     dibuatkan suatu perjanjian juali beli. Harus dipahami bahwa
     dengan perjanjian jual beli belum dapat dikatakan jual beli su-
     dah terjadi sampai dengan adanya akta jual beli. Namun yang
     dapat terjadi adalah berdasarkan perjanjian jual beli menjadi
     dasar dibuatkan sertfikat hak milik oleh Badan Pertanahan
     Nasional (BPN). Dengan demikian  tak terhindarkan terjadinya
    sengketa pertanahan. Hal demikian perlu secara tegas dalam
    undang-undang pertanahan terutama mengenai tidak perlu-
    nya didahului oleh perjanjian jual belI. Atau dengan kata lain
    perjanjian jual belu dibuat dihadapan notaris sementara akta
    jual beli dihadapan PPAT, maka mengapa  hal itu  tidak cukup      
    dengan notaris dan tidak perlu ada  PPAT agar tumpang tindih
    kewenangan tidaK menimbulkan kepastian hukum.

KEEMPAT :
Sengketa pertanahan yang  berasal dari  penerbitan SHM oleh BPN dengan berbagai hal berikut :
(1) Terbitnya SHM yang tidak dilakukan melalui prosedur hukum
yang ditunjukkan oleh tidak didahului oleh adanya akta jual  beli  dan atau tidak melalui prosesdur yang lainnya menurut  hukum. Oleh karena itu maka di dalam undang-undang  pertanahan proseduri tersebut harus secfara ditetag disebut
sehingga terdapat kepastian hukum untuk lahirnya SHM.
(2)dalam realitas empirik dapat dijumpai adanya  SHM ganda.
     Didalam hal itu diperlukan adanya penggunaan tehnologi
     informasi berupa on line system untuk seluruh kantor BPN
     dan atau seluruh notaris dalam hal sistem pendaftaran tanah.
(2) Formulasi SHM perlu dirumuskan ulang karena didalam SHM yang berlaku sekarang ini daqpat dijumpai adanya  coretan yang mengancan SHM itu menjadi cacat hukum. Selain dari pada itu agar SHM itu mudah dibaca dan dimengerti isinya dalam struktur Bahasa Indonesia baku. Di dalam undang-undang pertanahan perlu disebut secara tegas formulasi hak atas tanah itu apalagi dikaitkan dengan HAM warga negara.
(3) tidak adanya upaya untuk menghindari adanya istilah SHM
INDUK dan SHM pemisahan,  maka perlu diberi batas waktu
Yang pasti mengenai adanya kewajiban hukum bagi pemegang  SHM INDUK agar dalam batas waktu tertentu dii
Lakukan pemisahan SHM bagi seseorang yang berkait untuk
memperoleh SHMnya, karena keterlambatannya akan rentan
dengan timbulnya sengketa pertanahan yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Apabila dalam batas waktu tertentu itu be-
lum juga dilakukan, maka pemegang SHM Induk dapat ditunut melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan pihak yang berkait tadi.
(4) Perlu diatuir di dalam undang-undang pertanahan bahwa dalam hal tidak dipenuhinya kewajiban hukum tadi hingga
habis batas waktunya, maka seharusnya yang berkait dapayt
menghadap notaris untuk dibuatkan  akta pengganti SHM yang oleh UU dinyatakan sebagai Akta Tanda Hak Milik atas sebidang tanah. Hal itu;lah yang memaksa pemegang SHM INDUK  sangat mnewaspadai hal itu. Untuk mernghindari terjadinya perbuatan melawan hyukumj, undang-undang pertanahyan harus mengatur hal tetrsebut dengan dasar filosofis bahwa HAM warganegara wajib dilindungi hak konstitusionalnya.

KELIMA :
Build, Operation and Tranfer  (BOT) adalah sistem pengelolaan lahan tertentu dalam jangka waktu tertentu milik negara, atau juga dapat terjadi dilahan milik perorangan atau badean hukum.
Sekarang ini sistem BOT baru diatur dengan keputusan Menteri Keuangan bagi tanah milik negara. Karena sistem BOT selalu terjadi antara G to P maka di dalam undang-undang pertanahan  perlu diatur mengenai mekanismenya untuk menghindari sengketa pertanahan yang berkelanjutan, dengan larangan bagi pihak operator untuk menambah bangunan yang kemudian diakuinya sebagai haknya karena bangunan itu adalah bangunan
benalu, dan harus dihindari kemungkinan pengajuan permohonan SHM kepada BPN dan jika ternyata lahir SHM maka dalam kasus itu BPN dapat dinyatakan melakukan perbuatan melawan hukum termasuk pemohon hak tersebut yang dapat merugikan pihak lain.


SIMPULAN.
Jenis sengketa pertanahan yang mungkin dapat ditimbulkan oleh antara lain seperti diuraikan diatas,  harus diadopsi kedalam Rancangan Undang Undang Pertanahan  agar menjadi undang-undang. Melalui proses legislasi itu diharapkan menjadi upaya  agar sengketa pertanahan  yang terjadi secara berkelanjutan dapat dihindari atau setidak-tidaknya dapat ditekan  sedemikian rupa sehingga kepastian hukum dan keadilan di bidang pertanahan  dapat menyejahterakan  masyarakat Indonesia.

Demikian semoga menjadi amal ibadah kepada Allah SWT. Amin ya rabbal alamiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar