Sabtu, 06 Oktober 2012

Keberadaan Profesi PPAT ditengah kontroversi Payung Hukum

KEBERADAAN PROFESI PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (PPAT)
DI TENGAH KONTROVERSI PAYUNG HUKUM[1]
Oleh Hj. Farida Patittingi[2]

  1. A.   Pendahuluan
Pertama-tama saya menyampaikan terima kasih kepada Panitia yang berkenan mengundang saya untuk ikut berpartisipasi pada Seminar Nasional dengan Tema “Undang-Undang Pertanahan Nasional Sebagai Sarana Untuk Menyelesaikan Permasalahan Pertanahan di Indonesia”. Mengusung tema yang demikian memang sangat strategis, mengingat permasalahan pertanahan di Indonesia sangat kompleks dan seakan tidak pernah berhenti sepanjang kehidupan manusia itu sendiri.

Berbagai seminar, diskusi dan kajian ilmiah lainnya telah dilakukan untuk menemukenali permasalahan dan sumbernya serta solusi penyelesaiannya, namun konflik dan sengketa pertanahan tersebut masih terus berlangsung. Kegelisahan dan kegalauan merasuki benak kita semua, kenapa permasalahan yang paling pokok dalam keberlangsungan kehidupan manusia itu tidak pernah terselesaikan dengan baik. Penyelesaian sengketa melalui Pengadilan misalnya, lebih sering menimbulkan ekses lain, seperti perlawanan dari pihak yang kalah, bahkan tidak jarang terjadi tindakan anarkis dalam setiap pelaksanaan eksekusi putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Dalam kondisi demikian, Prof. Maria S.W. Sumardjono[3] menyarankan agar perlu terus diupayakan penyelesaian melalui cara-cara penyelesaian sengketa alternative. Upaya penyelesaian melalui jalur Pengadilan seyogyanya ditempuh sebagai upaya terakhir bila semua upaya telah gagal.
Kali ini, Panitia Seminar mengindentifikasi bahwa salah satu penyebab sulitnya menyelesaikan permasalahan pertanahan itu adalah ketidakmampuan UUPA menjadi landasan hukum untuk mengatasi berbagai konflik dan sengketa pertanahan itu sendiri, sehingga menganggap perlu untuk segera dibentuk Undang-Undang Pertanahan yang baru yang dianggap dapat menjadi solusi penyelesaian konflik dan sengketa pertanahan. Walaupun sesungguhnya beberapa pendapat yang mengemuka, bahwa UUPA masih dianggap relevan untuk menjadi dasar hukum pertanahan nasional, sehingga yang dibutuhkan hanyalah penyempurnaan peraturan pelaksanaannya tanpa harus menggantinya dengan undang-undang yang baru. Misalnya, adanya inisiatif dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI untuk mengajukan RUU tentang Hak atas Tanah, sebagai salah satu bagian dari UUPA, yaitu Hak-hak atas Tanah.
Selain identifikasi tentang penyebab dan upaya penyelesaian konflik pertanahan, salah satu tema yang dianggap penting dan juga terkait dengan masalah pertanahan, adalah Keberadaan Profesi PPAT di Tengah Kontroversi Payung Hukum.
Tema tersebut menjadi menarik menyusul keberadaan Pasal 15 ayat (2) huruf “f” Undang-undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disingkat UUJN), yang menyatakan bahwa “Notaris berwenang pula membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan”. Penjelasan dari Pasal 15 ayat (2) huruf “f” UUJN tersebut dinyatakan cukup jelas.
Ketentuan tersebut kemudian memunculkan perdebatan dari berbagai kalangan, khususnya pihak-pihak yang berkepentingan, seperti Pemerintah, DPR, Notaris dan PPAT, serta Badan Pertanahan Nasional sendiri maupun masyarakat secara luas. Padahal tujuan dibuatnya suatu undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya dimaksudkan untuk dapat memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan.
Demikian halnya dengan PPAT sebagai jabatan yang memang sejak semula dimaksudkan untuk membuat akta mengenai perbuatan hukum dengan objek hak atas tanah dan hak jaminan atas tanah sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tersebut, harus memiliki landasan hukum yang kuat dan jelas sehingga akta yang dilahirkan dari pelaksanaan jabatan tersebut tidak dipermasalahkan di kemudian hari dan tidak menimbulkan kerugian kepada masyarakat yang berhubungan dengan jabatan tersebut.

  1. B.   Sejarah Keberadaan Jabatan PPAT
Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dikenal sejak berlakunya Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah sebagai peraturan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria[4] (dikenal dengan UUPA), walaupun  tidak disebutkan secara eksplisit dengan nama PPAT, tetapi hanya disebut sebagai Pejabat. Namun jika melihat cakupan kewenangan dari Pejabat yang ditentukan dalam peraturan pemerintah tersebut semuanya terkait dengan perbuatan hukum mengenai tanah, sehingga dapat ditafsirkan bahwa Pejabat yang dimaksud adalah Pejabat yang betugas dan berwenang membuat akta tanah atas perbuatan hukum tertentu mengenai tanah yang bersangkutan.
Kedudukan PPAT termasuk akta-akta yang dilahirkannya, bentuk dan blangko aktanya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan kegiatan pendaftaran tanah sebagaimana sejak semula telah ditentukan dalam PP No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah. Dalam PP tersebut dikenal dengan istilah “pejabat” dengan lingkup kewenangan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 19.
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya disingkat PP No. 10 Tahun 1961) yang mengatur mengenai Pejabat, yaitu:
  1. Pasal 19: “Setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan sesuatu hak baru atas tanah, menggadaikan tanah atau meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan, harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan di hadapan Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria (selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah ini disebut sebagai Pejabat). Akta tersebut bentuknya ditetapkan oleh Menteri Agraria”.
  2. Pasal 38: “Pejabat yang dimaksud dalam Pasal 19 wajib menyelenggarakan suatu daftar dari akta-akta yang dibuatnya, menurut bentuk yang ditetapkan oleh Menteri Agraria serta wajib pula menyimpan asli akta-akta yang dibuatnya.
Penunjukan Pejabat yang dimaksudkan dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 tersebut kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Agraria No. 10 Tahun 1961 (TLN 2344). Dalam Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri tersebut disebutkan bahwa yang dapat diangkat sebagai Pejabat adalah:
  1. Notaris;
  2. Pegawai-pegawai dan bekas pegawai dalam lingkungan Departemen Agraria yang dianggap mempunyai pengetahuan yang cukup tentang peraturan-peraturan Pendaftaran Tanah dan peraturan-peraturan lainnya yang bersangkutan dengan persoalan peralihan hak atas tanah;
  3. Para pegawai pamongpraja yang pernah melakukan tugas seorang pejabat;
  4. Orang-orang lain yang telah lulus dalam ujian yang dilakukan oleh Menteri Agraria.
Dalam peraturan perundang-undangan tersebut di atas, belum disebut secara eksplisit bahwa Pejabat yang dimaksudkan disebut dengan nama PPAT. Penyebutan secara eksplisit pertama kali ditemukan dalam Surat Edaran Menteri Pertanian dan Agraria No. Unda 1/2/8, tanggal 21 April 1962, perihal Penjelasan Pasal 5 Peraturan Menteri Agraria No. 10 Tahun 1961: “…….apabila untuk suatu kecamatan belum ditunjuk seorang pejabat khusus, maka Asisten Wedana “ambsthalve” menjadi Pejabat Pembuat Akta Tanah…….”.
Dalam Peraturan Menteri Agraria No. 10 Tahun 1961 sebagai peraturan pelaksanaan PP No. 10 Tahun 1961 tersebut diatur secara detail tentang pelaksanaan pembuatan akta di hadapan “pejabat”. Setiap pembuatan akta di hadapan “pejabat”, harus menggunakan formulir-formulir yang tercetak atau formulir yang diketik dengan ukuran kertas tertentu dan harus mendapat persetujuan Kepala Jawatan Pendaftaran Tanah dan formulir-formulir tercetak hanya dapat dibeli di kantor-kantor pos.
Pengaturan demikian dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa pada waktu itu sebagian besar PPAT dijabat oleh Camat yang karena jabatannya (ex officio) menjalankan sementara Jabatan PPAT, agar dapat memudahkan pelaksanaan jabatannya termasuk petunjuk pengisian formulir atau blangko akta tersebut.
Pengaturan tersebut ternyata masih dipertahankan sampai saat ini berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, bahwa akta-akta Pejabat Pembuat Akta Tanah harus dibuat dengan menggunakan blangko akta Pejabat Pembuat Akta Tanah yang disediakan oleh Badan Pertanahan Nasional yang telah dicetak terlebih dahulu. Artinya PPAT tidak boleh membuat bentuk akta sendiri karena harus menggunakan blangko yang sudah disediakan oleh Badan Pertanahan Nasional.
Kenapa demikian, sebab fungsi blangko akta PPAT secara tegas dinyatakan sebagai syarat untuk dapat digunakan sebagai dasar pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 96 ayat (1-3) Peraturan Menteri Agraria/kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997, sehingga harus menyesuaikan dengan maksud pelaksanaan tugas Jabatan PPAT tersebut.
Pasal dalam UUPA yang terkait dengan keberadaan Jabatan PPAT tersebut dapat ditemukan dalam Pasal 26 ayat (1) UUPA dan Pasal 19 UUPA. Pasal 26 ayat (1) UUPA menyatakan bahwa jual beli, tukar menukar dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasaannya diatur dengan Peraturan Pemerintah. Demikian halnya Pasal 19 UUPA yang menginstruksikan kepada Pemerintah untuk menyelenggarakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia yang akan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah yang dimaksud tersebut adalah Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, yang kemudian diganti dengan PP No.24 Tahun 1997.
UUPA memang tidak menyebut secara tegas tentang Jabatan PPAT, namun penyebutan tentang adanya Pejabat yang akan bertindak untuk membuat akta terhadap perbuatan hukum tertentu mengenai tanah, dinyatakan dalam Pasal 19 PP No. 10 Tahun 1961, sebagai peraturan pelaksanaan UUPA. Dengan menggunakan metode interpretasi sistematis[5], serangkaian ketentuan yang berkaitan satu sama lain tersebut sudah cukup untuk memberikan pemahaman, bahwa keberadaan Jabatan PPAT bersumber pada UUPA, sehingga memiliki landasan hukum yang kuat.
Kemudian dalam perkembangannya, kedudukan PPAT sebagai pejabat umum lebih dipertegas dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang terbit kemudian, yang dapat diuraikan sebagai berikut:
  1. Undang-Undang No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun[6], memuat ketentuan tentang keberadaan PPAT, sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (2) yang menyatakan pemindahan hak sebagaimana ditentukan dalam ayat (1) dilakukan dengan akta PPAT yang didaftarkan pada Kantor Agraria Kabupaten dan Kotamadya yang bersangkutan menurut Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960
Penjelasan ayat (1) tersebut menyatakan “Sebagai bukti bahwa telah dilakukan pemindahan hak diperlukan adanya akta Pejabat Pembuat Akta Tanah, sedang untuk peralihan hak karena pewarisan tidak diperlukan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah. Pendaftaran peralihan hak dalam pewarisan cukup didasarkan pada surat keterangan kematian pewaris  atau surat wasiat atau surat keterangan waris yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
  1. Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, Pasal 24 ayat (1) menyatakan bahwa PPAT/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan bangunan setelah wajib pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak
  2. Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah (selanjutnya disebut UU Hak Tanggungan) menegaskan siapa PPAT dan bagaimana kedudukan PPAT sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 4, yaitu: “Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yaitu pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah dan akta pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
  3. Selain dalam UU Hak Tanggungan tersebut, Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah, juga menyebutkan PPAT sebagai pejabat umum. Pasal 1 angka 5 menyebutkan bahwa PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta tanah.
  4. Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah sebagai pengganti PP No. 10 Tahun 1961, juga menyebut PPAT sebagai pejabat umum, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 24: “Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT adalah pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk membuat akta-akta tanah tertentu”.
  5. Kemudian dalam Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan PPAT (selanjutnya disingkat PP No. 37 Tahun 1998) menegaskan kembali bahwa PPAT sebagai pejabat umum sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 1 bahwa yang dimaksud dengan PPAT adalah pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik atas Satuan Rumah Susun.
Keseluruhan peraturan perundang-undangan tersebut di atas secara tegas menyatakan bahwa PPAT adalah Pejabat Umum, sehingga sama kedudukannya dengan Notaris yang juga disebut sebagai Pejabat Umum dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, yaitu: “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini”.
Penyebutan PPAT sebagai pejabat umum dengan sendirinya mempertegas kedudukan PPAT itu sendiri. Apa yang dimaksud dengan pejabat umum dalam UU tersebut tidak dijelaskan. Istilah pejabat umum diterjemahkan dari istilah “Openbare Ambtenaren” yang terdapat dalam Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris di Indonesia (Reglement op het Notaris-Ambt in Indonesie) S.1860-3[7] sebagaimana telah diubah terakhir dalam Lembaran Negara Tahun 1945 No. 101, dan Pasal 1868 BW.
Menurut E.Utrecht[8], Jabatan (Ambt) adalah suatu lingkungan pekerjaan tetap (kring van vaste werkzaamheden) yang diadakan dan dilakukan guna kepentingan negara (kepentingan umum). Selanjutnya dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “lingkungan pekerjaan tetap” ialah suatu lingkungan pekerjaan yang sebanyak-banyaknya dapat dinyatakan dengan tepat-teliti/seakurat mungkin (zoveel mogelijk nauwkeurig omschreven) dan yang bersifat duurzam (tidak dapat diubah begitu saja). Oleh karena itu, maka jabatan merupakan subjek hukum (person), sehingga kekuasaan tidak diberikan kepada orang penjabat, tetapi diberikan kepada jabatan (lingkungan pekerjaan).  Sebagai pendukung hak dan kewajiban, maka jabatan itu dapat menjamin kesinambungan hak dan kewajiban, walaupun penjabatnya berganti-ganti.
Pembentukan payung hukum secara spesifik yang mengatur tentang Jabatan PPAT dengan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan PPAT (selanjutnya disingkat PP No. 37 Tahun 1998) jika dilihat dasar pembentukannya bersumber pada Pasal 7 ayat (3) PP No. 24 Tahun 1997, yang berinduk pada UUPA, bahwa: “Peraturan Jabatan PPAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1)[9] diatur dengan Peraturan Pemerintah”[10].
Pada Konsideran Menimbang huruf “b” PP No. 37 Tahun 1998 tersebut secara tegas dinyatakan bahwa pertimbangan pembentukan Peraturan Pemerintah tersebut yaitu dalam rangka pelaksanaan pendaftaran tanah, dengan menetapkan jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang diberi kewenangan untuk membuat alat bukti mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah dan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang akan dijadikan dasar pendaftaran.
Dengan demikian, maka pembentukan PP No. 37 Tahun 1998 tersebut adalah memberikan dasar hukum dalam rangka pelaksanaan tugas jabatan PPAT untuk membantu[11] sebagian kegiatan pendaftaran tanah sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 2 PP No. 37 Tahun 1998, yaitu:
“PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan-perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan sebagai dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu”.

Perbuatan hukum yang dimaksudkan tersebut adalah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (2) PP No. 37/1998, yaitu:
  1. Jual beli;
  2. Tukar-menukar;
  3. Hibah;
  4. Pemasukan dalam perusahaan (inbreng);
  5. Pembagian hak bersama;
  6. Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik;
  7. Pemberian Hak Tanggungan;
  8. Pemberian Kuasa Membebankan Hak Tanggungan.

Dalam ketentuan dalam pasal selanjutnya dinyatakan bahwa untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, PPAT mempunyai kewenangan membuat akta otentik[12] mengenai semua perbuatan hukum sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 2 ayat (2) tersebut di atas mengenai hak atas atas dan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang terletak di dalam daerah kerjanya.  Sedangkan PPAT Khusus hanya berwenang membuat akta mengenai perbuatan hukum yang disebut secara khusus dalam penunjukannya.
Dengan demikian, jika mencermati keseluruhan peraturan perundang-undangan yang saling berkaitan tersebut di atas, semakin mengukuhkan kedudukan  Jabatan PPAT sebagai suatu jabatan tersendiri dengan kewenangan yang melekat padanya sesuai peraturan perundang-undangan.

  1. C.   Kontroversi Payung Hukum Keberadaan Jabatan PPAT
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa sesungguhnya keberadaan Jabatan PPAT sudah tegas dan jelas sebagai suatu jabatan tersendiri yang terpisah dengan jabatan lainnya dengan kewenangan yang sudah jelas pula sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Menyusul diundangkannya Undang-udang No. 30 Tahun 2004, kedudukan PPAT pun kemudian dipermasalahkan karena dinyatakan telah melekat secara otomatis pada Jabatan Notaris berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf “f” tersebut. Ketentuan hukum tersebut menimbulkan konflik dengan ketentuan perundang-undangan yang mengatur kewenangan PPAT sebagai pejabat yang diberikan kewenangan membuat akta-akta tanah atau yang berkaitan dengan tanah.
Dalam kondisi demikian, jika terjadi konflik hukum yang mengatur hal yang sama, dapat diselesaikan dengan menggunakan asas hukum, yaitu:
  1. a.    Lex porteriori derogate legi priori, artinyaperaturan atau undang-undang yang terbaru mengesampingkan peraturan atau undang-undang yang lama yang mengatur hal yang sama.
  2. b.    Lex superior derogate legi inferiori, artinya jika terjadi pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang tinggi dengan yang rendah, maka yang tinggilah yang harus didahulukan.
Kedua asas hukum tersebut, secara otomatis mengesampingkan peraturan Jabatan PPAT yang diatur dalam peraturan sebelumnya, apalagi PP No. 37/1998 tentang Jabatan PPAT kedudukannya lebih rendah dari UUJN karena bentuknya hanya Peraturan Pemerintah.
Tetapi pada sisi lain, dapat juga menggunakan asas hukum “lex specialis derogate legi generale”, sehingga peraturan khusus akan mengesampingkan peraturan umum yang mengatur hal yang sama.  Artinya PP No. 37 Tahun 2008 yang secara khusus mengatur Jabatan PPAT yang berlaku saat ini dapat dikategorikan sebagai lex specialis.
Dalam kondisi demikian, mana yang harus diikuti, tidak memberikan penyelesaian dan kepastian hukum. Untuk itu memang dibutuhkan adanya harmonisasi hukum dalam pembuatan suatu peraturan perundang-undangan.
Kontroversi terhadap kedudukan PPAT sebagai jabatan yang inhern dalam Jabatan Notaris yang dipicu oleh keberadaan Pasal 15 ayat (2) huruf “f” UUJN tersebut kelihatannya sudah akan segera berakhir, karena dalam RUU Jabatan Notaris pengganti Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, ketentuan tersebut sudah dihapus dalam Panja V tanggal 9 Januari 2012 dengan catatan Fraksi Partai Golkar tidak setuju dan menghendaki tetap pada rumusan UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
Namun demikian tetap menarik untuk mencermati ketentuan dalam UUJN tersebut, walaupun sesungguhnya antara Jabatan PPAT dan Jabatan Notaris adalah dua jabatan yang sejak semula sudah berbeda dan memiliki kewenangan yang berbeda pula, walaupun dua jabatan itu dapat disandang oleh seorang penjabat karena pada umumnya seorang Notaris juga adalah PPAT. Masyarakat awam pun selalu menganggap kedua jabatan ini satu.
Indikasi pemisahan dua jabatan tersebut justru diamini oleh UUJN sendiri. Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 15 ayat (1) UUJN yang menyatakan:
“Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta, menyimpan akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan atau kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang”.

Membaca ketentuan Pasal 15 ayat (1) UUJN tersebut, maka UUJN sendiri mengakui keberadaan suatu jabatan tertentu untuk membuat akta tertentu yang telah ditetapkan dengan undang-undang. Misalnya pembuatan akta yang pemindahan hak atas tanah dan/atau akta pembebanan Hak Tanggungan yang telah ditentukan dalam UU Hak Tanggungan yang harus dibuat dengan akta PPAT.
Selain itu, Pasal 17 UUJN yang mengatur tentang larangan Notaris, pada huruf “g” yang melarang Notaris merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah di luar wilayah jabatan Notaris.
Ketentuan Pasal 17 UUJN sendiri yang kemudian membuat perbedaan antara Jabatan Notaris dan Jabatan PPAT. Pengakuan adanya pembedaan Jabatan Notaris dengan Jabatan PPAT dalam Pasal 17 UUJN tersebut menjadi tidak konsisten dengan Pasal 15 ayat (2) huruf “f” itu sendiri yang jika ditafsirkan sudah otomatis melekat Jabatan PPAT dalam Jabatan Notaris sekaligus, sehingga wilayah jabatan Notaris juga adalah wilayah jabatan PPAT, sehingga tidak perlu muncul larangan seperti itu.
Memang jika dibaca secara seksama bunyi ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf “f” maka sendirinya kita akan mengakui bahwa pada Jabatan Notaris otomatis melekat Jabatan PPAT, karena kewenangan yang diberikan oleh UUJN tersebut.
Penjelasan pasal tersebut yang menyetakan cukup jelas, membawa pesan bahwa ketika seseorang telah diangkat menjadi Notaris, maka secara otomatis dalam jabatan Notaris juga melekat kewenangan untuk membuat akta di bidang pertanahan, yang selama ini menjadi kewenangan PPAT. Konsekuensi hukumnya adalah ketika seseorang memangku Jabatan Notaris, maka ia tidak perlu lagi mengikuti suatu prosedur tertentu yang selama ini dilaksanakan oleh Kementerian Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional untuk dapat menjalankan kewenangannya di bidang pertanahan, sebab sudah melekat dalam Jabatan Notaris tersebut. Artinya, Notaris otomatis juga sebagai pejabat umum yang dapat menjalankan kewenangan membuat akta di bidang pertanahan.
Namun jika dicermati lebih lanjut, ternyata ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf “f” tidak memberikan kepastian hukum, karena tidak mampu memberikan penjelasan lebih lanjut tentang apa saja yang dimaksud dengan kewenangan di bidang pertanahan tersebut dan bagaimana kewenangan di bidang pertanahan itu dilaksanakan. Karena penjelasan pasal tersebut menyatakan sudah jelas. Padahal beberapa pertanyaan dapat saja muncul, misalnya, apakah wilayah jabatan Notaris secara otomatis juga menjadi wilayah jabatan PPAT. Jika demikian, mengapa harus ada lagi ketentuan Pasal 17 huruf “g” dalam UUJN tersebut.
Selain itu secara kelembagaan, juga akan menimbulkan permasalahan, sebab selama ini dua jabatan tersebut berada pada instansi pemerintahan yang berbeda termasuk pengangkatan dan pemberhentiannya serta hal-hal yang terkait dengan pelaksanaan jabatan tersebut, termasuk pengawasannya.
Memang dapat dipahami bahwa terjadi ketidakpastian hukum dan menimbulkan penafsiran yang beragam terhadap ketentuan pasal tersebut, sebab tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai maksud pasalnya karena dianggap cukup jelas, termasuk bagaimana ketentuan itu dilaksanakan secara operasional. Seharusnya pelaksanaan ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf “f” tersebut didelegasikan pada peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang, yaitu dengan Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden. Misalnya tata cara pelaksanaan kewenangan Notaris di bidang pertanahan akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden. Atau setidaknya menjelaskan dalam penjelasan pasalnya tentang apa yang dimaksud dengan kewenangan di bidang pertanahan tersebut, sebab bidang pertanahan sangat luas dan beberapa perbuatan hukum yang berkaitan dengan pertanahan, tidak selalu dibuat aktanya oleh PPAT. Misalnya Akta Pengikatan Jual Beli, Akta Sewa Menyewa.
Pelaksanaan Pasal 15 ayat (2) huruf “f” UUJN, sampai saat ini tidak dapat diterapkan, karena dianggap berkonflik dengan peraturan perundang-undangan yang lain yang mengatur hal yang sama. Dalam kondisi demikian, maka terjadi kondisi “contra consuetudinem non obligat” yaitu peraturan yang bertentangan tidak mengikat.
Bagaimanapun, konstrversi harus diakhiri, sehingga kita harus sepakat untuk membedah polemik ini secara jernih berdasarkan kaidah-kaidah pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.  Apalagi saat ini sedang berlangsung pembahasan RUU Jabatan Notaris sebagai pengganti UU No. 30 Tahun 2004.  Demikian halnya, jika hendak memberikan pengukuhan terhadap Jabatan PPAT, maka memang sudah pada saatnya kita merekomendasikan untuk mengajukan RUU Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Namun demikian, pengajuan tersebut tidak dilandasi oleh pertimbangan yang emosional atas reaksi dari adanya polemik terhadap jabatan PPAT, tetapi harus didasarkan pada pertimbangan bahwa keberadaan jabatan PPAT semakin dibutuhkan dan jelas eksistensinya seiring dengan perkembangan kesadaran hukum masyarakat yang semakin memahami pentingnya akta PPAT tersebut. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf “e” Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yaitu materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang harus berisi “pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat”.
Selain itu, suatu peraturan perundang-undangan harus memuat asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, seperti yang telah diatur dalam Pasal 5 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011, yaitu:
  1. Kejelasan tujuan;
  2. Kelembagaan atau pejabat pebentuk yang tepat;
  3. Kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
  4. Dapat dilaksanakan;
  5. Kedayagunaan dan kehasilgunaan;
  6. Kejelasan rumusan;
  7. Keterbukaan.

Sementara materi peraturan perundang-undangan harus mencerminkan asas pengayoman, kemanusiaan, kebangsaan, kekeluargaan, kenusantaraan, bhinneka tunggal ika, keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, ketertiban dan kepastian hukum, dan/atau keseimbangan, keserasian dan keselarasan (Pasal 6).

  1. D.   Penutup
Demikian pokok-pokok pikiran yang dapat saya sampaikan berkaitan dengan tema seminar ini, semoga dapat menjadi bahan diskusi untuk memberikan masukan yang terbaik terhadap eksistensi Jabatan PPAT.
Bahwa jika berdasarkan pada berbagai undang-undang tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Jabatan PPAT tetap terpisah dengan Jabatan Notaris, sehingga seseorang yang diangkat menjadi Notaris tidak akan otomatis merangkap jabatan PPAT atau tidak otomatis melekat jabatan PPAT. Terima kasih

DAFTAR PUSTAKA

E.Utrecht. 1963. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Penerbitan dan Balai Buku Ikhtiar. Djakarta
Maria S.W.Sumardjono. 2008. Tanah Dalam Perspektif Hak Eknomi, Sosial dan Budaya. Penerbit Buku Kompas. Jakarta





[1] Disampaikan pada Seminar Nasional Pertanahan “UNDANG-UNDANG PERTANAHAN NASIONAL SEBAGAI SARANA UNTUK MENYELESAIKAN PERMASALAHAN PERTANAHAN DI INDONESIA’, yang dilaksanakan oleh PP Ikatan Pejabat Pembuat akta Tanah (IPPAT) bekerjasama dengan Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Jayabaya dan Majalah Infoland, bertempat di Krakatau Room, Hotel Mercure Ancol, Jakarta, 14 Juli 2012.
[2] Prof. Dr. Hj. Farida Patittingi, S.H., M.Hum. Guru Besar Hukum Agraria Fakultas Hukum Univesitas Hasanuddin, Makassar
[3] Maria S.W.Sumardjono. 2008. Tanah Dalam Perspektif Hak Eknomi, Sosial dan Budaya. Penerbit Buku Kompas. Jakarta. Hlm. 123.
[4] Pasal 19 ayat (1) UUPA: “Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
[5] Metode intrerpretasi sistematis adalah penafsiran yang menghubungkan antara pasal yang satu dengan pasal lainnya dalam suatu peraturan perundang-undangan  atau dengan peraturan perundang-undangan yang lain, serta membaca penjelasannya sehingga dapat dipahami maksudnya
[6] Dalam Undang-undang Rumah Susun yang baru, yaitu Undang-Undang No.20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun sebagai pengganti Undang-Undang No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, tidak ditemukan penyebutan PPAT dalam pasal-pasalnya, hanya disebutkan dalam penjelasan pasal saja. Pasal 44 ayat (1)  menyebutkan bahwa Proses jual beli yang dilakukan sesuadah pembangunan rumah susun selesai, dilakukan memalui akta jual beli (AJB). Penjelasan Pasal 44 ayat (1) UURS tersebut menyebutkan bahwa AJB dibuat di hadapan Notaris PPAT untuk SHM Sarusun dan Notaris untuk SKBG Sarusun sebagai bukti peralihan hak.
[7] Pasal 1: Para Notaris adalah pejabat-pejabat umum, khususnya berwenang untuk membuat akta-akta otentik semua perbuatan, persetujuan dan ketetapan-ketetapan, yang untuk itu diperintahkan oleh undang-undang umum atau yang dikehendaki oleh orang-orang yang berkepentingan, yang akan terbukti dengan tulisan otentik, menjamin hari dan tanggalnya, menyimpan akta-akta dan mengeluarkan grisse-grosse, salinan-salinan dan kutipan-kutipannya, semuanya itu sejauh pembuatan akta-akta tersebut oleh suatu undang-undang umum tidak juga ditugaskan atau diserahkan kepada pejabat-pejabat atau orang-orang lain.
[8] E.Utrecht. 1963. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Penerbitan dan Balai Buku Ikhtiar. Djakarta. Hlm 159.
[9] Pasal 7 ayat (1)  PP No. 24/1997: “PPAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) diangkat dan diberhentikan oleh Menteri.
[10] Peraturan Pemerintah yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (LN-RI Tahun 1998 No. 52 dan TLN No.3746), serta Peraturan Pelaksanaannya yang diatur dengan Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 4 Tahun 1999 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No, 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
[11] Pasal 6 ayat (2) PP No. 24/1997 menentukan bahwa: “Dalam melaksanakan pendaftaran tanah, Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh PPAT dan Pejabat lain yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan-kegaiatan tertentu menurut Peraturan Pemerintah ini dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan”.
[12] Pengertian Akta otentik dapat dilihat pada Pasal 1868 KUHPerdata, yaitu “Akta Otentik adalah akta yang dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat dimana akta itu dibuatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar