Sabtu, 06 Oktober 2012

Masukan ahli hukum agraria ttg revisi UUJN

MASUKAN AHLI HUKUM AGRARIA TENTANG REVISI UNDANG-UNDANG No. 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS

Oleh : Prof. Ny. Arie S. Hutagalung, SH, MLI


  1. I.             SISTEMATIKA PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIS

  1. Landasan penyusunan Naskah Akademis 

  1. Filosofi

-     Paradigma ?
-     Tujuan yang hendak dicapai UU ?
-     Asas-asas yang melandasi UU ?
-     Substansi yang merupakan penjabaran masing-masing asas ?


  1. Yuridis

      Dalam Naskah Akademis harus terlihat keterkaitan dengan  UU lain (harmonisasi hukum), dalam hal ini UU No. 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria, UU No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berada Diatasnya, UU  No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang khususnya mengenai hipotik kapal, Peraturan-peraturan tentang lelang (Vendu Reglement)

2.   Isu –isu penting

  1. Kewenangan Notaris
      Harus diingat selain Notaris ada Pejabat Umum lain yang mempunyai kewenangan khusus seperti Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Pejabat Lelang, Syah Bandar, Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf, dsb, yang diangkat dan ditunjuk oleh Kementerian/Lembaga Tinggi Pemerintah yang berbeda.
  1. Hak & Kewajiban dan tanggung jawab
  2. Tempat kedudukan
  3. Bentuk dan syarat-syarat Akta Notaris.

II.     MATERI RUU
  1. Pasal-Pasal Penting Yang Harus Direvisi Dalam Undang-Undang No. 30 Tentang Jabatan Notaris
Menurut Pasal 5 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (“UU 10/2004”), yang merupakan aturan pelaksanaan Pasal 22A UUD 1945, dalam membentuk peraturan perundang-undangan harus berdasarkan pada ASAS PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN yang baik yang meliputi:

  1. kejelasan tujuan
  2. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat
  3. c.             kesesuaian antara jenis dan materi muatan
  4. d.            dapat dilaksanakan
  5. e.            kedayagunaan dan kehasilgunaan
  6. f.             kejelasan rumusan; dan
  7. keterbukaan

Alm. Prof. Dr. A. Hamid S. Attamimi, SH. mengelompokkan asas-asas tersebut di atas sebagai asas-asas formal sedangkan yang termasuk asas-asas material menurut beliau adalah:[1]
  1. asas sesuai dengan Cita Hukum Indonesia dan Norma Fundamental Negara
    1. asas sesuai dengan Hukum Dasar Negara
    2. asas sesuai dengan prinsip-prinsip Negara Berdasar atas Hukum
    3. asas sesuai dengan prinsip Pemerintah Berdasar Sistem Konstitusi.

Pendapat Alm. Prof. Dr. A. Hamid S. Attamimi, SH. tersebut kemudian dijabarkan dalam Pasal 6 UU 10/2004 yang menyebutkan, materi muatan peraturan perundang-undangan mengandung asas:

  1. Pengayoman
f.    Bhineka Tunggal Ika
b.   Kemanusiaan
g.   Keadilan
c.   Kebangsaan
h.  Kesamaan  kedudukan  dalam  hukum
     dan pemerintahan
d.  Kekeluargaan
i.   Ketertiban dan Kepastian Hukum
e.  Kenusantaraan
j.   Keseimbangan dan keserasian
Apabila suatu peraturan perundangan tidak memenuhi salah satu asas-asas tersebut dalam Pasal 5 dan 6 UU 10/2004, maka peraturan perundangan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum karena dasarnya tidak kuat.
Setelah mengkaji secara cermat UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (“UUJN”) yang telah menimbulkan polemik di berbagai media massa cetak, ada dua pasal yang menjadi sorotan dari berbagai pihak, yaitu Pasal 15 dan Pasal 17, dimana keberadaan kedua pasal tersebut telah mengakibatkan UUJN tidak memenuhi beberapa asas yang tercantum dalam Pasal 5 dan Pasal 6 UU 10/2004, yaitu:[2]
  1. Asas kesesuaian antara jenis dan materi muatan, yaitu bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan perundang-undangannya.

  1. Asas dapat dilaksanakan, yaitu bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektifitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis.

  1. Asas kejelasan rumusan, yaitu bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.

  1. Asas pengayoman adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat.

  1. Asas ketertiban dan kepastian hukum, yaitu bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan ataupun kepastian hukum.

Berikut di bawah ini adalah kajian dari dua pasal dalam UUJN yang tidak memenuhi 5 asas tersebut di atas:

  1. A.          PASAL 15

  1. Pasal 15 Ayat (2f): Notaris berwenang pula membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan.
      Dalam penjelasan Pasal 15 Ayat (2f) dinyatakan telah jelas.
      Apakah menurut Pasal 15 Ayat (2f) seorang yang menjabat Notaris sekaligus menjabat PPAT.
Jika jawabannya ya, mengapa:
  1. a.            Pasal 1 Ayat (4) UU No.4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, yang menyatakan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang selanjutnya disebut PPAT adalah pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah dan akta pemberian kuasa membebankan hak tanggungan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, dimana penjelasannya menyatakan cukup jelas;

  1. b.           Pasal 1 Ayat (5) UU No.4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, yang menyatakan akta pemberian hak tanggungan adalah Akta PPAT, yang berisi pemberian hak tanggungan kepada kreditor tertentu sebagai jaminan untuk pelunasan piutangnya, dimana penjelasannya menyatakan cukup jelas;

Pernyataan tersebut diulang lagi dalam Penjelasan Umum: “… PPAT adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta pemindahan hak atas tanah dan akta lain dalam rangka pembebanan hak atas tanah … Pengertian pembebanan hak atas tanah yang pembuatan aktanya merupakan kewenangan PPAT, meliputi pembuatan akta pembebanan Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 Undang Undang Pokok Agraria dan pembuatan akta dalam rangka pembebanan Hak Tanggungan yang diatur dalam Undang-undang ini.
Dalam Pasal 10 dan 13 ditentukan, bahwa: Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, pendaftarannya hanya dapat dilaksanakan, jika pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan dibuktikan dengan akta PPAT yang berwenang.
  1. 2.      Pasal 10 Ayat (2) UU No.16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, yang menyatakan pemindahan hak sebagaimana yang ditentukan dalam ayat 1 dilakukan dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah dan didaftarkan pada Kantor Agraria Kabupaten dan Kotamadya yang bersangkutan menurut Peraturan Pemerintah sebagamana dimaksudkan dalam Pasal 19 UU No.5 Tahun 1960, yang penjelasannya berbunyi Sebagai bukti bahwa telah dilakukan pemindahan hak diperlukan adanya akta Pejabat Pembuat Akta Tanah, sedang untuk peralihan hak karena pewarisan tidak diperlukan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Pendaftaran peralihan hak dalam warisan, cukup didasarkan pada surat keterangan yang bersangkutan, sesuai dengan hukum yang berlaku.
  1. 3.      Pasal 24 UU No.21 Tahun 1997 yang telah diubah dengan UU No.21 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, yang menyatakan Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan bangunan setelah wajib pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak;

TIDAK DICABUT ataupun tidak diberi catatan apapun oleh UU No.30 Tahun 2004 aquo, sebagaimana dicabutnya UU No.33 Tahun 1954 tentang wakil notaris dan wakil notaris sementara dan Pasal 54 UU No.8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No.2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum dengan UU No.30 Tahun 2004 aquo.  
Padahal jika Notaris dengan sendirinya menjabat PPAT (tanpa melalui ujian PPAT/SK Pengangkatan) maka apa yang dicantumkan pada Nomor 4 ayat a sampai e harus juga dicabut dengan UU No.30 Tahun 2004 aquo.
Selain itu juga jika Notaris menjabat PPAT, mengapa pada UU No.30 Tahun 2004 aquo ada Pasal 17 Ayat g yang menyatakan Notaris dilarang merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah diluar wilayah jabatan Notaris.
Seharusnya Pasal 15 Ayat (2f) tersebut di pertegas atau dijelaskan dalam penjelasannya misalnya Notaris berhak membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan yang aktanya bukan merupakan akta PPAT, misalnya akta Pengikatan Jual Beli, Akta Sewa Menyewa dsb, yang tidak secara khusus diatur dalam Undang-Undang lain harus dibuat dengan Akta PPAT atau Pejabat Umum lain.
  1. Selanjutnya jika Notaris boleh menjabat PPAT diwilayah jabatannya dan bukan ditempat kedudukannya, maka dengan berlakunya UU No.30 Tahun 2004 aquo, menurut pendapat saya semua SK PPAT harus diubah yaitu misalnya tuan A, PPAT untuk wilayah kerja seluruh Propinsi Jawa Barat, atau nyonya B untuk wilayah kerja seluruh Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, nyonya C untuk wilayah kerja Propinsi Sumatera Utara dan seterusnya.

Hal tersebut dapat menyulitkan proses pendaftaran tanah (terkecuali mungkin di Propinsi DKI), karena beberapa Propinsi mempunyai luas wilayah yang cukup besar.
Sebagai ilustrasi Notaris/PPAT yang mempunyai tempat kedudukan di Kabupaten Bekasi dapat membuat akta PPAT di Kabupaten Bandung, Kota Cirebon, Kabupaten Indramayu dan sebaliknya.
Demikian juga Notaris/PPAT yang mempunyai kedudukan di Kota Malang dapat membuat akta PPAT di Kabupaten Ponorogo, di Kota Surabaya dan Kabupaten Blitar.
Catatan:
Sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah No.37 Tahun 1998 tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah, Wilayah Kerja seorang PPAT adalah satu Kota atau satu Kabupaten, terkecuali di DKI dimana wilayah kerja PPAT DKI adalah Propinsi DKI. Setelah berlakunya Peraturan Pemerintah No.37 Tahun 1998 tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah, Wilayah Kerja seorang PPAT adalah satu Kota atau satu Kabupaten.
  1. Pasal 15 Ayat (2g) : Notaris berwenang pula membuat akta risalah lelang.
Dalam penjelasan Pasal 15 Ayat (2g) dinyatakan telah jelas.
Apakah menurut Pasal 15 Ayat (2g) seorang yang menjabat Notaris sekaligus menjabat juru lelang.
Jika jawabannya ya, mengapa Vendu Reglement (S.1908 No.189) tidak dicabut dengan Undang-undang No.30 Tahun 2004 aquo.
Padahal ada beberapa undang-undang antara lain Pasal 19 ayat (2) UU No.15 Tahun 1985 dan yang pada pejelasan Pasal 19, ayat (2)nya yang menyatakan “Dalam hal terjadi lelang eksekusi, maka tidak diperlukan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah, melainkan cukup dibuktikan dengan berita acara lelang yang dibuat oleh Kepala Kantor Lelang yang melaksanakan pelelangannya.
Selain itu ada UU No.19 Tahun 1997 Tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa dan UU No.20 Tahun 2000 Tentang Perubahan atas UU No.21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
Dalam praktek akta Notaris tidak dapat dipakai di Kantor Pertanahan untuk melakukan pendaftaran peralihan/balik nama sertipikat hak atas tanah yang diperoleh pemenang lelang. Dengan kata lain Kantor Pertanahan hanya menerima pendaftaran peralihan/balik nama sertipikat tanah yang diperoleh pemenang lelang, yang aktanya dibuat oleh juru lelang dan bukan oleh Notaris.
Hal-hal tersebut diatas menurut saya terjadi disebabkan karena pembentuk Undang-undang Jabatan Notaris tidak memahami hukum tanah khususnya ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang Pendaftaran Tanah.
Karena itu materi asas-asas tersebut terutama kekeluargaan, Bhineka Tunggal Ika, keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, ketertiban dan kepastian hukum, dan dapat dilaksanakan ternyata sama sekali tidak terkandung dalam undang-undang No.30 Tahun 2004 aquo, karena bertentangan dengan Pasal 5 dan 6 ayat (1) dari UU No.10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sehingga UU No.30 Tahun 2004 aquo pembentukannya tidak memenuhi ketentuan formal pembentukan Undang-Undang. Karena itu UU No.30 Tahun 2004 aquo harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi.

  1. B.           Pasal 17

Pasal 17 UUJN antara lain menentukan, bahwa “Notaris dilarang merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah di luar wilayah jabatan Notaris”.
“Ketentuan tersebut mengandung satu pernyataan yang positif dalam hubungannya dengan eksistensi lembaga jabatan PPAT dalam tata hukum kita. Kalau sebelum adanya undang-undang ini ada sementara pejabat organisasi notaris yang menyarankan, agar jabatan PPAT dihapus dan tugas-kewenangannya diserahkan kepada Notaris, maka saran tersebut telah mendapat jawaban dalam undang-undang yang mengatur jabatan mereka sebagai notaris. Disebutnya jabatan PPAT dalam Pasal 17 tersebut dapat diartikan sebagai pengulangan pengukuhan eksistensi lembaga jabatan PPAT oleh suatu undang-undang.
Dengan demikian maka lembaga jabatan PPAT telah mendapat pengukuhan eksistensinya dalam tata hukum Indonesia, oleh 4 undang-undang, yaitu: UU 16/1985 tentang Rumah Susun, UU 4/1996 tentang Hak Tanggungan, UU 21/1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan yang kemudian dirobah dengan UU 30/2000, dan sekarang UUJN.”[3]
Tetapi disamping unsurnya yang positif, rumusan Pasal 17 yang berupa larangan merangkap jabatan tersebut, justru menciptakan suatu ketidakpastian mengenai hubungan institusional jabatan Notaris dan jabatan PPAT. Dalam Peraturan Jabatan PPAT pun PPAT dilarang merangkap jabatan Notaris, yang ada di luar daerah kerjanya.
Notaris mempunyai wilayah jabatan yang meliputi satu Propinsi dan wajib mempunyai satu kantor di wilayah Propinsi yang bersangkutan. PPAT juga mempunyai daerah kerja yang meliputi satu Kabupaten atau Kota, dan juga wajib mempunyai satu kantor di daerah kerjanya. Sekarang ini Notaris boleh merangkap jabatan PPAT dan sebaliknya. Tetapi wajib berkantor satu, yang berarti berkedudukan dan berkantor di tempat yang sama.
Tetapi dengan adanya larangan yang dirumuskan dengan kalimat tersebut, tanpa disertai penjelasan, justru memungkinkan adanya tafsiran yang berbeda. Yang dilarang adalah Notaris merangkap jabatan PPAT di luar wilayah jabatannya. Notaris di Kota Bandung, dengan wilayah jabatan Propinsi Jawa Barat, dilarang merangkap jabatan PPAT Kabupaten Tangerang, yang termasuk Propinsi Banten. Tetapi larangan tersebut juga dapat diartikan, bahwa notaris Kota Bandung tidak dilarang merangkap jabatan PPAT yang daerah kerjanya dalam wilayah Jawa Barat. Dengan demikian dimungkinkan Notaris tersebut merangkap jabatan PPAT untuk Kabupaten Bekasi, yang termasuk wilayah Propinsi Jawa Barat. Sebagai Notaris berkantor di Bandung, dan sebagai PPAT berkantor di suatu ibukota kecamatan dalam wilayah Kabupaten. Apakah benar demikian? Kalau itu pun dilarang, bagaimana sebaiknya rumusan Pasal 17 tersebut?
Selain apa yang dikemukakan di atas, dapat timbul pertanyaan, apakah di belakang pernyataan larangan tersebut, yang sebenarnya merupakan sesuatu yang tidak perlu dinyatakan dalam bentuk ketentuan undang-undang, UUJN ini sebenarnya tidak juga mempunyai maksud lain? Yaitu, bahwa merangkap jabatan PPAT oleh seorang Notaris itu tidak lagi memerlukan penunjukan/pengangkatan khusus oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional, sebagai yang terjadi sekarang ini, tetapi akan terjadi secara otomatis akan berlaku bagi setiap Notaris, asal PPAT-nya mempunyai daerah kerja dalam wilayah jabatannya.
Notaris diangkat oleh Menteri Hukum dan HAM, sedang PPAT oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN). Masing-masing dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu, mengenai pribadi yang diangkat maupun tersedianya formasi. Apakah mungkin diartikan demikian?
Kalau memang diinginkan demikian maka hal tersebut seharusnya dibicarakan dulu dengan BPN sebagai pihak yang mengangkat PPAT. Selain daripada itu apakah pengadaan Notaris dapat diupayakan sampai pelosok-pelosok tanah air, seperti Nabire, Nias, dsb.; sedangkan transaksi tanah hampir setiap waktu terjadi di semua wilayah Republik Indonesia. Jadi jelas muatan Pasal 17 ini dapat menimbulkan berbagai interpretasi dan ketidakpastian hukum dan tidak mengayomi masyarakat sehingga perlu direvisi dan diberi penjelasannya.

Dari hasil diskusi terbatas yang diadakan oleh Pusat Studi Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Trisakti pada tanggal 13 Oktober 2004, disimpulkan sebagai berikut:
1.    Bahwa dengan adanya pernyataan dalam pasal 17 huruf g UU 30/2004, bahwa Notaris dilarang merangkap jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, di luar wilayah jabatannya, maka eksistensi jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah menjadi dikukuhkan oleh 4 (empat) undang-undang, yaitu Undang Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, Undang Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, Undang Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan serta Undang Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris ini.
         Ketentuan Pasal 17 tersebut sekaligus menunjukkan, bahwa UU 30/2004 tidak bermaksud menggantikan Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagai pejabat yang bertugas dan berwenang khusus dan khas membuat Akta Pemindahan Hak Atas Tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun serta Akta Pemberian Hak Tanggungan, dengan Notaris.
2.      Bahwa larangan Notaris untuk merangkap jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang daerah kerjanya di luar wilayah jabatan Notaris yang bersangkutan, tidak mengubah ketentuan yang ada sekarang ini, bahwa seorang Notaris boleh merangkap jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Notaris menurut Pasal 18 dan 19 UU 30/2004 mempunyai wilayah jabatan yang meliputi satu Propinsi dan wajib hanya mempunyai satu kantor di wilayah Propinsi yang bersangkutan. Pejabat Pembuat Akta Tanah pun mempunyai daerah kerja, yang meliputi satu kabupaten/kota dan juga wajib berkantor di satu kantor dalam daerah kerjanya (Pasal 12 dan 20 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah). Maka seorang Notaris boleh merangkap jabatan Pejabat Pembuat Tanah, demikian juga sebaliknya, asal berkantor satu, yang berarti berkedudukan dan berkantor di tempat yang sama.

3.      Bahwa seorang yang diangkat menjadi Notaris, tidak secara otomatis merangkap jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Demikian juga sebaliknya, seorang yang diangkat menjadi Pejabat Pembuat Akta Tanah tidak secara otomatis menjabat Notaris.
         Notaris tetap diangkat oleh Menteri Kehakiman dan HAM Republik Indonesia dan Pejabat Pembuat Akta Tanah oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional. Masing-masing dengan syarat-syarat dan atas pertimbangan-pertimbangan tertentu mengenai pribadi yang diangkat dan tersedianya formasi di daerah yang bersangkutan.
Hasil kesimpulan tersebut telah dikonfirmasikan oleh Direktur Perdata, Ditjen Administrasi Hukum Umum Departemen Hukum dan HAM dalam makalahnya yang disampaikan, yang berjudul “Peran PPAT Dan Negara Dalam Pembebanan Hak Tanggungan”, bahwa eksistensi PPAT masih tetap diakui.[4] Hasil kesimpulan tersebut seyogyanya ditambahkan dalam upaya untuk merevisi UUJN.

Demikianlah keterangan tertulis dari kami sebagai guru Besar Hukum Agraria. Atas perhatiannya kami sampaikan terima kasih.

Hormat Kami,




Prof. Ny. Arie S. Hutagalung, SH, MLI
Guru Besar Hukum Agraria FHUI
NIP 19510929 197803 2 001







[1]      A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara. (Suatu studi analisis mengenai Keputusan Presiden yang berfungsi pengaturan dalam kurun waktu PELITA I – PELITA IV). Disertasi Doktor Universitas Indonesia. Jakarta, 1990. Sebagaimana dikutip Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan (Dasar-dasar dan Pembentukannya), Yogyakarta, 1998.
[2]      Lihat Penjelasan Pasal 6 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
[3]      Dikutip dari Prof. Boedi Harsono, SH., Kata Pengantar Diskusi Mengenai Pasal 15 dan 17 Undang Undang Jabatan Notaris, dalam Diskusi Terbatas Implikasi dan Solusi Ketentuan UU Jabatan Notaris bagi PPAT, yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Trisakti pada tanggal 13 Oktober 2004.
[4]      Dr. Syamsudin Manan Sinaga, SH., M.Hum., dalam Seminar Nasional Peran PPAT Dan Negara Dalam Pembebanan Hak Tanggungan yang diselenggarakan oleh Universitas Diponegoro Program Pascasarjana, Program Studi Magister Kenotariatan pada tanggal 21 Mei 2005 di Hotal Patra Jasa Semarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar