Sabtu, 06 Oktober 2012

Konflik Agraria Dan Urgensi Pelaksanaan Reforma Agraria di Indonesia

Konflik Agraria Dan Urgensi Pelaksanaan Reforma Agraria di Indonesia[1]
Oleh : Idham Arsyad[2]


  1. A.     Pendahuluan
Agrarian Reform is the Offspring of Agrarian Conflict/
Reforma Agraria adalah Anak Kandung Konflik Agraria
 (Christodoulou,1990;112)

Pernyataan Christodoulou di atas menunjukkan bahwa dorongan untuk melaksanakan reforma agraria datang dari kenyataan konflik agraria yang sedang berlangsung di suatu negara. Artinya bahwa maraknya konflik agraria menunjukkan bahwa agenda reforma agraria tidak dilaksanakan. Karenanya, salah salah satu urgensi diperlukannya pelaksanaan reforma agraria adalah untuk menangani dan menyelesaikan konflik agraria.

Akhir-akhir ini kita menyaksikan konflik agraria berlangsung di mana-mana. Ada yang secara besar-besaran diberitakan oleh Media, seperti kasus Mesuji dan Kasus Bima, ada juga yang tidak sempat terpublikasi secara baik. Secara umum, konflik agraria yang sifatnya terbuka dan manifes diikuti dengan tindakan kekerasan, telah banyak jatuh korban nyawa karena konflik agraria ini, dan tak terhitung jumlah kerugian materi dan non-materi yang dialami dari para pihak yang berkonflik.
Karenanya, penulis sangat mengapresiasi seminar nasional yang berlangsung hari ini dengan mengangkat salah satu topik mengenai “penyelesaian konflik agraria”. Ucapan terima kasih tak terhingga penulis ucapkan kepada Ikatan Pembuat Akta Tanah (wabilkhsusus kepada Ibu Sri Rachma Chandrawati, SH selaku Pengurus Pusat IPPAT), Program Pasca Serjana Universitas Jayabaya dan Media Informasi Tanah dan Properti Infoland atas undangan kepada penulis untuk berbagi pengalaman.
Makalah ini hanya sebagai pokok-pokok pikiran dari penulis terkait dengan tema yang sangat urgen ini. Muatan yang lebih dalam tentu penulis sangat mengharapkan masukan dan tanggapan dari para peserta seminar. Untuk memudahkan penyajiannya, maka pembahasan dalam makalah ini dibagi ke dalam beberaa sub materi, yakni : Pertama, mengurai mengenai persoalan agraria yang sedang kita hadapi dewasa ini; Kedua,  konflik agraria dan upaya penanganannya; Ketiga, reforma agraria sebagai solusi, dan pembahasan akan diakhiri dengan rekomendasi dan penutup.

  1. B.     MASALAH-MASALAH POKOK AGRARIA INDONESIA
Dewasa ini, sebagai negara agraris[3], Indonesia menghadapi persoalan-persoalan agraria yang sangat kronis yang membutuhkan penganganan secara serius oleh seluruh komponen anak bangsa. Keterlibatan semua komponen anak bangsa ini menjadi keharusan karena memang masalah agaria yang kita hadapi sudah menjadi persoalan bangsa, sehingga baik pemerintah, masyarakat dan pengusaha harus terlibat dalam mengatasi persoalan ini. Masalah-masalah agraria tersebut, adalah :
Pertama, terjadinya ketimpangan struktur atas penguasaan, pemilikan dan penggunaan atas tanah dan kekayaan alam yang sangat akut. Ketimpangan struktur agraria ini sudah berlangsung sejak era kolonial dan belum ada upaya untuk mengakhirinya sampai saat ini. Ketimpangan struktur agraria adalah cermin dari ketidakadilan sosial yang bertentangan dengan tujuan pendirian bangsa ini. Kepala BPN RI,  Joyo Winoto, P.hD, menyebutkan bahwa 70 persen aset nasional Indonesia hanya dikuasai oleh 0.02 persen penduduk, 50 persen aset tersebut dalam bentuk tanah beserta kekayaan yang terkandung di dalamnya.
Ketimpangan struktur agraria ini, kita bisa saksikan dalam bentuknya, yakni ; 1) Ketimpangan antar sektor. Dimana alokasi penggunaan, dan pemanfaatan antar sektor agraria tidak proporsional. Misalnya alokasi penggunaan tanah untuk sektor pertanian dengan sektor non-pertanian sangat tidak berimbang. Saat ini, 71,1 persen daratan Indonesia ditetapkan sebagai kawasan hutan, sehingga menutup akses masyarakat untuk menggunakan tanah yang ada di kawasan hutan tersebut untuk sumber penghidupan mereka. Dengan demikian, hanya tersisa 29,9 persen daratan yang dipergunakan secara kompetitif untuk kepentingan usaha  pertanian, perkebunan, perumahan, pemerintahan dan untuk kepentingan rakyat.
Salah satu contoh kongkrit dari ketimpangan antar sektor bisa kita saksikan di sektor pertanian, dimana luas lahan pertanian terus menerus mengalami penyempitan. Misalnya lahan untuk sawah dalam 6 tahun terakhir (1998-2004) berkurang seluas 808.756. Dan musnahnya 75 % lebih varietas padi lokal dari sebelumnya yang berjumlah 12.000an, padahal sektor pertanian inilah yang menjadi tumpuan 70 persen penduduk pedesaan di Indonesia. Kebijakan yang mengalokasi lahan luas untuk perkebunan besar, pertambangan dan infra-struktur semakin memperparah ketimpangan sruktur agraria.
2) Ketimpangan penguasaan dan pemilikan lahan di antara para petani.  Hasil sensus pertanian menunjukkan bahwa dalam 10 tahun terakhir (1993-2003) jumlah petani gurem mengalami peningkatan, dari 10,8 juta menjadi 13,7 juta. Hal ini terutama disebabkan karena jumlah penduduk Indonesia yang masuk ke sektor pertanian setiap tahun meningkat, tetapi alokasi lahan untuk sektor pertanian tidak bertambah, bahkan kecendrungan terus berkurang karena adanya proses konversi yang tak terkendali.

Tabel 1 : Penguasaan Tanah Oleh Petani, 1983-2003

Kategori
Tahun Sensus
1983
1993
2003
Jumlah (absolut) Rumah Tangga Petani
23,8 juta
30,2 juta
37,7 Juta
% Rumah Tangga Petani yang Menguasai Tanah
78,9
70,0
64,5
% Tuna Kisma Absolut (Absolut Landless)
21,1
30,0
35,5
% Petani Kecil (menguasai tanah < 0,5 ha) terhadap Jumlah Keseluruhan “Petani yang Menguasai Tanah”
16,8 juta
( ha)
17,1 juta (ha)
21,5 juta (ha)
Rata-Rata Penguasaan Tanah oleh “Petani yang Menguasai Tanah”
0,89 ha
0,81 ha
0,89 ha
Gini Ratio
0,64
0,67
0,72
Sumber : Wiradi & Bachriadi, 2011
3) Ketimpangan, ketidakselarasan atau incompatibilities dalam hal persepsi dan konsepsi mengenai agraria. (Wiradi;2000). Yang dimaksud dengan ketimpangan ketiga ini adalah perbedaan persepsi dan konsepsi antara mereka yang menggunakan konsep hukum positif, dan mereka yang menggunaan hukum masyarakat adat. Persoalan ketiga ini merupakan konflik yang justru paling sulit untuk mengatasinya karena memerlukan suatu proses pencapaian konsensus yang memakan waktu yang panjang.
Kedua, terjadinnya sengketa dan konflik agraria yang semakin meluas, berkepanjangan dan tanpa ada penyelesaian secara tuntas, apalagi proses penyelesaian yang memberi rasa adil bagi rakyat. Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa konflik agraria telah diikuti dengan tindak kekerasan,  misalnya seperti kejadian di Jambi, Mesuji dan Bima. Data KPA menunjukkan bahwa, untuk tahun 2011 ini saja, jumlah konflik mencapai 163 dengan jumlah korban yang meninggal mencapai 22 orang.  Dari jumlah konflik tersebut, luas lahan yang disengketakan mencapai 472.048,44 hektar dengan melibatkan lebih dari 69.975 kepala keluarga. (Uraian lebih lanjut soal konflik agraria akan dibahas lebih jauh dalam tulisan ini).
Ketiga, lahirnya sejumlah peraturan dan perundangan-undangan yang terkait dengan tanah dan kekayaan alam yang salint tumpang tindih dan saling bertentangan. (Konsideran Menimbang, poin “d” TAP MPR No.IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Sesungguhnya, aturan untuk menjalankan agenda reforma agraria di Indonesia telah ditegaskan dalam UUPA No.5/1960. UUPA merupakan implementasi dari pasal 33 UUD 1945, yang bertujuan untuk mewujudkan keadilan agraria di Indonesia.
Namun sangat disayangkan karena undang-undang yang dilahirkan pasca orde baru dan termasuk sampai saat ini semuanya tidak mengacu pada UUPA, bahkan sebagian besar mengkhianati semangat “populisme” yang terkandung dalam UUPA 1960. Sehingga semangat untuk menatas struktur agraria yang tidak adil yang merupakan warisan pemerintahan kolonial tidak terjadi. Sehingga kehadiran undang-undang sektoral tersebut semakin mengukuhkan akumulasi dan monopoli atas tanah dan kekayaan alam berdasarkan kepentingan sektoral masing-masing.
Sebuah kajian kritis terhadap 12 undang-undang terkait agraria dan sumber daya alam pernah dilakukan oleh Maria S.W. Sumardjono, dkk. Kesimpulannya bahwa sebagian besar undang-undang tersebut berorientasi  eksploitasi dan pro-kapital.

Tabel : Semangat (visi dan misi) sejumlah undanga-undang terkait agraria.
Undang-Undang
Visi-Misi
UUPA No.5/1960
  • Konservasi SDA, bersifat pro-rakyat, berfungsi sosial, antimonopoli swasta, pembatasan kepemilikan, dan mengedepankan nasionalisme
UU No.11/1976 tentang pertambangan
  • Ekploitasi bahan tambang dan pro-kapital
UU No.5/1990 tentang konservasi SDA Hayati
  • Konservasi dan pro-rakyat
UU No.23/1997 tentang pengelolaan lingkngan hidup
  • Konservasi dan pro-rakyat
UU 41/1999 tentang kehutanan
  • Perimbangan eksploitasi dan konservasi, namun lebih cenderung eksploitasi, lebih pro-kapital dari pada pro-rakyat
UU No.22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
  • Eksploitasi dan pro-kapital
UU No.27/2002 tentang panas bumi
  • Eksploitasi dan pro-kapital
UU No.7/2004 tentang sumber daya air
  • Konservasi dan eksploitasi, fungsi sosial, dan ada kecendrungan pro-kapital
UU No.31/2004 tentang perikanan
  • Eksploitasi dan pro-kapital meskipun ada perhatian terhadap nelayan kecil
UU No.26/2007 tentang penataan ruang
  • Konservasi dan pro-rakyat
UU No.27/2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
  • Konervasi dan eksploitasi, pro-rakyat tapi juga pro-kapital
UU No.18/2008 tentang pengelolaan sampah
  • Konservasi, pro-rakyat sekaligus tetap membuka peluang bagi kapital besar.
Sumber : disadur dari “Pengaturan SDA di Indonesia”,Maria SW.M, dkk. 2011.

Keempat, ketimpangan agraria tersebut di atas, juga mengakibatkan munculnya persoalan struktural yang lain seperti kemiskinan, pengangguran dan laju urbanisasi, khususnya di wilayah pedesaan di Indonesia. Kenyataan ini sebenarnya sekaligus menggambarkan betapa rapuhnya ekonomi nasional kita, karena persoalan-persoalan di wilayah pedesaan tidak diselesaikan. Saya perlu menyampaikan bahwa pangkal pokok persoalan kemiskinan di pedesaan sesungguhnya bersumber pada banyak tenaga kerja di pedesaan yang tidak memiliki akses terhadap tanah dan kekayaan. Hasil assesment kami menunjukkan bahwa dimana terdapat perkebunan besar, Izin Usaha Kehutanan dan Pertambanagan, maka di lokasi tersebut jumlah orang miskinnya juga cukup tinggi.
Kelima, laju kerusakan sumber daya alam yang semakin parah. Kita sedang menghadapi krisis ekologi yang tentunya tidak mudah untuk diselesaikan. Krisis ekologi ini muncul karena adanya penggunaan sumber daya alam yang berlebihan (eksploitatif) tanpa memperhitungkan daya dukung ekologi di suatu daerah.

  1. C.      KONFLIK AGRARIA DAN UPAYA PENANGANANNYA
Konflik agraria adalah pertentangan klaim hak  atas tanah atau kekayaan alam yang berasal dari alas yang berbeda. Masing-masing pihak meyakini mempunyai kekuatan hukum untuk mempertahakan sumber daya tersebut. Pada tingkat mikro, konflik agraria wujudnya pada klaim yang bertumbukan atas lokasi yang sama, dari alas yang berbeda dan dari institusi yang berbeda. Di satu pihak, masyarakat memiliki klaim berdasarkan aturan atau hukum adat setempat yang mereka sepakati bersama. Di sisi lain, pihak pemegang konsesi memilik klaim atas lahan yang sama berdasarkan penetapan hak yang diberikan oleh pemerintah beralaskan sejumlah peraturan dan perundangan dari hukum formal yang berlaku.
Menurut Christodolou (1990), konflik adalah bentuk pertentangan atau pertarungan yang sudah nyata, yang didasari oleh pertentangan klaim, yang bermula pada tidak adanya pegangan bersama mengenai tiga hal : a) Siapa yang berhak menguasai tanah dan kekayaan alam?; b) siapa yang berhak memanfaatkan tanah dan kekayaan alam?, c) siapa yang berhak mengambil keputusan atas penguasaan dan pemanfaatan atas tanah  dan kekayaan alam?.
Bagaimana konflik muncul?, Umumnya konflik agraria bermula dari proses kebijakan yang “meng-negara-isasi” atau “penegaraan” atas tanah-tanah milik komunitas. Kemudian di atas tanah tersebut diberi nama “tanah negara”, lalu pemerintah menguasakan kepada badan usaha (swasta, pemerintah) dalam berbagai bentuk hak pemanfaatan, seperti Hak Pengelolaan Hutan, Hak Guna Usaha, Kuasa Pertambangan, dll.
Saat ini, kita melihat adanya kecendrungan dimana konflik agraria selalu diikuti dengan tindakan kekerasan, bahkan sudah pada fase penghilangan nyawa. Mengapa kekerasan masih kerap terjadi dalam konflik agraria? Setidaknya ada empat hal mendasar; a) Masih digunakanya pendekatan kekerasan dan keamanan (security and violence approach) dalam menyelesaikan konflik agraria yang terjadi. Sementara disisi lain, kekuatan perlawanan rakyat sudah semakin tumbuh secara signifikan; b) Tidak adanya platform kebijakan yang jelas dari pemerintah dalam menangani konflik-konflik agraria yang terjadi pada masa sebelumnya, maupun yang baru terjadi pada saat sekarang. Sebelumnya kita punya undang-undang peradilan agraria, tetapi di masa pemerintahan Orde Baru, sehingga sengketa dan konflik agraria tidak mempunyai jalur penyelesaian secara hukum. c) Pola kebijakan agraria tidak mengalami perubahan secara signifikan. Hal ini terutama paradigma dalam memberikan alokasi peruntukan tanah skala luas kepada badan-badan usaha dengan tidak memperhatikan keadaan rakyat yang banyak tidak memiliki tanah.  d) tidak diajalankannya agenda reforma agraria, padahal agenda ini menjadi solusi bagi penyelesaian konflik agraria.
Agar konflik tidak terus berulang dan menimbulkan korban jiwa, maka penulis mengusulkan untuk dibentuk kelembagaan khusus penyelesaian konflik agraria. Perlu disampaikan bahwa tahun 2004, Konsorsium Pembaruan Agraria bersama Komnas HAM dan organisasi masyarakat sipil lainnya pernah mengusulkan kepada Presiden RI untuk membentuk Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNuPKA), namun usulan tersebut ditolak dengan memberi merekomendasikan memperkuat Badan Pertanahan Nasional (BPN). Nyatanya, konflik agraria masih terus berlangsung tanpa ada mekanisme yang jelas untuk penyelesaiannya. BPN tentu memilik keterbatasan-keterbatasan dalam menyelesaikan semua konflik karena kewenangannya yang terbatas.
Konflik agraria berbeda dengan sengketa agraria. Konflik agraria dimensinya sangat luas, karena menyangkut soal ketidakadilan distribusi aset penting nasional kita arena adanya penerapan kebijakan tertentu. Karenanya menurut hemat penulis, upaya penyelesaian konflik agraria ke depan harus diselesaikan secara komprehemsif, tidak kasus per kasus. Penyelesaiannya juga memerlukan keterlibatan semua departemen/kementerian yang mengurus masalah tanah dan sumber daya alam. Komisi Nasional Penyelesaian Konflik Agraria yang penulis sarankan ini bersifat adhoc dan bekerja dalam jangka waktu yang telah ditentukan. Dibentuk oleh Presiden melalui Kepres dan bertanggungjawab kepada Presiden.
Komisi ini bertugas menampung, memeriksa sekaligus menyelesaikan pengaduan konflik agraria. Untuk pengaduan yang tidak bisa diselesaikan oleh Komisi, proses selanjutnya ditangani oleh pengadilan yang khusus agraria. Mekanisme penyelesaian konflik meliputi penyelesaian sengketa alternatif (alternative dispute resolution/ADR) dan pengadilan khusus. Dasar hukum yang yang digunakan untuk membentuk Komisi ini adalah TAP MPR No.IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.



  1. D.     REFORMA AGRARIA SEBAGAI SOLUSI
Reforma agraria adalah jalan keluar dari sejumlah persoalan-persoalan agraria yang mendasar yang menjadi pangkal dari kemiskinan bangsa, yang dilakukan dengan cara menata ulang atau restrukturisasi kepemilikan, penguasaan, dan penggunaan sumber-sumber agraria, terutama tanah untuk kepentingan petani, buruh tani, dan rakyat kecil atau golongan ekonomi lemah pada umumnya yang sekaligus menjadi landasan menuju proses industrialisasi nasional.
Inti dari reforma agraria adalah landreform dalam pengertian: (1) adanya redistribusi pemilikan dan penguasaan tanah agar terjadi pemerataan, dan (2) adanya pembatasan pemilikan dan penguasaan tanah untuk mencegah terjadinya konsentrasi. Meskipun demikian landreform tidak akan berhasil jika tidak didukung oleh program-program penunjang seperti pengairan dan penyediaan sarana infrastruktur lainnya yang mempermudah proses produksi dan pemasaran hasil-hasil pertanian, perkreditan, penyuluhan, pendidikan, pemasaran, dan sebagainya, termasuk sejumlah perlindungan bagi kegiatan produksi dan pemasaran hasil-hasil pertanian rakyat sebelum ia menjadi kuat dan dapat bersaing secara baik di semua arena pasar. Jadi reforma agraria adalah landreform plus.
Pengertian Reforma agraria adalah suatu usaha, upaya dan kegiatan yang dilakukan secara bersama antara pemerintah dan masyarakat, dengan tujuan untuk  merombak tata sosial di bidang agraria, karena tata yang ada  dianggap  tidak adil dan tidak sesuai sebagai dasar bagi peningkatan kesejahteraan rakyat.
Tujuan dari pelaksanaan reforma agraria adalah untuk mewujudkan keadilan Agraria, yang ditandai dengan keadaan : a) Tidak adanya konsentrasi yang tinggi dalam penguasaan dan pemanfaatan tanah dan kekayaan alam yang menjadi hajat hidup orang banyak; b) Terjaminnya kepastian hak penguasaan dan pemanfaatan rakyat setempat terhadap tanah dan kekayaan alam; c) Terjaminnya keberlangsungan dan kemajuan sistem produksi rakyat  setempat yang menjadi sumber penghidupan mereka.
Menjalankan reforma agraria memberi sejumlah manfaat positif, yakni : a) Secara Hukum, menciptakan kepastian hukum mengenai hak-hak rakyat, terutama petani. b) Secara Sosial,  menciptakan struktur sosial yang dirasakan lebih adil. c) secara Psikologis, menimbulkan suasana social euhporia dan family security sedemikian rupa sehingga para petani termotivasi untuk mengelola usaha taninya dengan baik. d) Secara Ekonomi,  menjadi sarana awal bagi peningkatan produksi, e) Secara Politik, dapat meredam keresahan, sehingga gejolak kekerasan dapat dihindari.
Reforma agraria bukan hanya untuk mengatasi berbagai persoalan agraria sebagaimana disebutkan sebelumnya, tetapi sesungguhnya reforma agraria harus menjadi dasar pembangunan nasional. Pengalaman dari berbagai negara yang menjalankan reforma agraria menujukkan bahwa reforma agraria mengandung arti yang penting bagi dasar awal ekonomi nasional.
Akibat dari dilaksanakan atau tidaknya reforma agraria,  adalah sebagai berikut : Pertama, menciptakan pasar atau daya beli. Tanpa adanya redistribusi tanah, maka tidak ada kekuatan daya beli/kekuatan pasar. Kedua, Petani tanpa aset tanah sama artinya dengan petani miskin dan tanpa tabungan. Padahal tabungan pertanian diperlukan bagi setiap pemerintah untuk mendanai pembangunan pertanian dan sektor lain. Ketiga, tanpa peningkatan ekonomi petani, maka pajak pertanian tetap minim. Keempat, tanpa reforma agraria, maka tidak akan terjadi diferensiasi yang meluas dari pembagian kerja di pedesaan. Kelima,  tanpa reforma agraria, tidak akan terjadi investasi di dalam pertanian oleh petani sendiri. Malahan terjadi disinvestasi karena lama kelamaan banyak petani kehilangan tanah dan kemiskinan meluas. Akibatnya sektor industri kecil, industri rumah tangga, perdagangan, jasa dan sirkulasi melemah, dan hanya bisa bergantung pada intervensi modal dari kota. Dan keenam, tanpa reforma agraria tanah hanya menjadi objek spekulasi, karena tidak mampu digunakan secara produktif oleh petani.
Dengan demikian, pelaksanaan reforma agraria adalah keharusan dalam memasuki sistem ekonomi modern. Tanpa reforma agraria, ekonomi modern yang dihasilkan bersifat cacat, pincang dan tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Konflik kelas-kelas sosial akan semakin tajam dan tidak terselesaikan. Tidak ada tingkat konsumsi masyarakat, karena mayoritas penduduk desa hidup dalam subsistensi.
Hal terpenting yang perlu ditegaskan bahwa tanpa reforma agraria tidak akan ada demokrasi di perdesaan. Demokrasi ekonomi akan menghasilkan demokrasi politik. Tumbuhnya ekonomi rakyat, akan menghasilkan kreativitas dan pengorganisasian. Reforma agraria dengan sendirinya akan menghasilkan diferensiasi pembagian kerja masryarakat, yang akan menciptakan berbagai profesi, pekerjaan, asosiasi dan kelembagaan baru. Dengan sendirinya pula menciptakan aspirasi dan penyaluran politik. Politik adalah cerminan dari diferensiasi kelas-kelas sosial dan pengelompokan masyarakat yang pluralis. Sehingga pada akhirnya tumbuh tatanan masyarakat sipil sebagai ganti dari masyarakat politik.

  1. E.      PENUTUP DAN REKOMENDASI
Sebagai catatan penutup dari makalah ini, maka beberap rekomendasi yang penulis usulkan setelah mengurai beberap persoalan sebelumnya, yakni : Bahwa dalam menyelesaikan konflik agraria dewasa ini, maka pendekatan kekerasan dan keamanan hendaknya dihindari, karena cara tersebut hanya menimbulkan berbagai persoalan yang sudah pasti akan menggangu stabilitas nasional sehingga ketahanan nasional tidak bisa kita wujudkan.
Penyelesaian konflik agraria hendaknya tidak diselesaikan kasus per kasus karena tidak efektif. Penyelesaiannya juga harus langsung menyentuh untuk menyelesaikan akar konfliknya, yakni ketidakadilan agraria. Sehingga diperlukan dua langkah sekaligus untuk mengatasi konflik agraria ini, yakni : a) Membentuk kelembagaan khusus penyelesaian konflik agraria untuk menyelesaikan konflik-konflik agraria baik yang berlangsung di masa lalu, maupun yang terjadi saat ini. b) Melaksanakan reforma agraria sejati. Reforma agraria yang dimaksud adalah perombakan struktur agraria yang timpang dan tidak adil untuk kemudian diredistribusi kepada rakyat yang membutuhkannya. Kemudian secara bersamaan pemerintah memberikan dukungan akses reform kepada penerima tanah.
Terkait dengan arah revitalisasi kebijakan agraria ke depan, maka penting menempatkan TAP MPR No.IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam sebagia dasar pijakan. Dalam hal ini adalah, arah kebijakan pembaruan agraria (pasal 5), yakni : a) Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor demi terwujudnya peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 4 Ketetapan ini; b) Melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat; c) Menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah secara komprehensif dan sistematis dalam rangka pelaksanaan landreform; d) Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 4 Ketetapan ini; e) Memperkuat kelembagaan dan kewenangannya dalam rangka mengemban pelaksanaan pembaruan agraria dan menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang terjadi; dan f) Mengupayakan dengan sungguh-sungguh pembiayaan dalam melaksanakan program pembaruan agraria dan penyelesaian konflik-konflik sumber daya agraria yang terjadi.
Demikianlah pokok-pokok pikiran yang dapat penulis sampaikan dalam forum yang sangat berharga ini. Semoga dapat memberi masukan yang berarti bagi para peserta semua di dalam menjalankan aktivitas.  Terkahir, penulis memohon maaf bila dalam penyajian ada yang kurang berkenan. Wassalam.

Jakarta, 14 Juli 2012

Daftar Bacaan
Bachriadi,Dianto dan Gunawan Wiradi. 2011. Enam Dekade Ketimpangan; Masalah Penguasaan Tanah di Indonesia. Jakarta: Bina Desa, ARC dan Konsorsium Pembaruan Agraria.
Fauzi, Noer. 1999. Petani dan Penguasa, Perjalanan Politik Agraria Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerjasama dengan Insist Press.
_____. 2003. Bersaksi untuk Pembaruan Agraria, Dari Tuntutan Lokal hingga Kecenderungan Global. Yogyakarta: KARSA bekerjasama KPA.
Harsono, Boedi. 2002. Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah. Jakarta : Penerbit Djambatan.
Tauchid, Mochammad. 2011. Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemkamuran Rakyat Indonesia Bagian Kedua. Jakarta: Yayasan Bina Desa.








[1] Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional “Undang-Undang Pertanahan Nasional Sebagai Sarana untuk Menyelesaikan Permasalahan Pertanahan di Indonesia” yang diselenggarakan oleh Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT) , Program Pasca Serjana Universitas Jayabaya dan Media Informasi Tanah dan Proverti Infoland, di Hotel Mercure Ancol, Jakarta,  yang diadakan pada 14 Juli 2012.
[2] Penulis adalah Sekretaris Jendral Konsorsium Pembaruan Agraria.
Alamat Kantor : Komplek Liga Mas Indah I, Jl.Pancoran Indah I Blok E3 No.1 Pancoran, Jakarta Selatan, 12760, Indonesia. Telp/Fax : 021-7984540/7993834. e-mail : kpa@kpa.or.id. Website : www.kpa.or.id
Alamat Rumah : Jl.Seroja I No.16 (Komplek Taman Yasmin III) Bogor. Hp: 081218833127 e-mail : bhotghel@yahoo.com.


[3] Pengertian negara agraris adalah  bahwa Indonesia dalam menjalankan proses pembangunan nasionalnya, sebagian besar masih mengandalkan sumber-sumber agraria, serta sebagian besar rakyatnya masih bergantung pada sektor agraria sebagai sumber pendapatan utama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar