Sabtu, 06 Oktober 2012

Sertifikat Kepemilikan Bangunan Gedung (SKBG)

SERTIPIKAT KEPEMILIKAN BANGUNAN GEDUNG
( SKBG )
MENYOSONG TERBITNYA LEMBAGA HUKUM BARU PEMILIKAN BANGUNAN GEDUNG
TANPA MEMILIKI HAK ATAS TANAH
Oleh: MAHARANI
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN BPN-RI

  1. A.   Pengantar
Tulisan ini mengantarkan kita untuk memulai memahami pemikiran lembaga hukum baru yaitu Sertipikat Kepemilikan Bangunan Gedung yang dipopulerkan dengan nama SKBG yang diatur di dalam Undang-Undang No.20 tahun 2011 tentang Rumah Susun, kemudian timbul banyak pertanyaan; mengapa  SKBG tersebut  hanya diberikan kepada Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) saja ?, apa keuntungan bagi MBR? mengapa hanya diterbitkan, apabila tanah bersama yang dipergunakan untuk membangun Rumah Susun adalah tanah Barang Milik Negara (BMN) atau Tanah Wakaf saja?, apakah lembaga hukum baru yang disebut SKBG ini tidak menyalahi UUPA ?

Saya mencoba mengajak para pembaca untuk memahaminya.  Tulisan ini dikemas berdasarkan pengalaman saya menjabat menjadi Direktur Konsolidasi Tanah BPN-RI, kemudian menjabat Kepala Pusat Hukum dan Humas, serta terakhir menjabat Kepala Pusat Peneltian dan Pengambangan BPN-RI, yang terpenting adalah pengalaman turut serta menjadi wakil BPN dalam rapat-rapat mengawal Rancangan Undang-Undang Rumah Susun bersama Tim Pemerintah dan Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Rumah Susun DPR-RI.
Saya termasuk orang yang terus menentang akan diterbitkanya lembaga hukum baru yang sudah digagas sejak tahun 2002 dengan dimuatnya dalam RUU Bangungan Gedung yang dipopulerkan dengan nama SBKBG ( Surat Bukti Kepemilikan Bangunan Gedung ), dalam perjalanan yang hampir 10 tahun Perpresnya belum juga diterbitkan , antara lain karena saya belum bisa menerimanya. Kini lembaga tersebut diperkenalkan dalam UU Rusun dengan sebutan SKBG ( Sertipikat Kepemilkan Bangunan Gedung ), bersamaan dengan itu timbulah pro dan kontra dari berbagai kalangan, namun apapun yang terjadi,  Rancangan Undang-Undang tersebut sudah disetujui Pemerintah bersama  DPR RI, sehingga tanggung jawab Pemerintah untuk melaksanakan penerbitan SKBG tersebut yang bertujuan untuk memberikan jaminan kepastian hukum pemilikan bangunan gedung oleh MBR yang tidak mampu membeli tanah, namun tetap mendapatkan aset dan akses atas bangunan yang dimiliki, sehingga dapat melakukan perbutan hukum pemindahan hak serta penjaminan haknya.
Sekedar informasi , tulisan ini akan dimuat dalam 3 majalah, yaitu majalah Infoland, malajah Renvoi dan majalah Cipta Karya serta majalah yang diterbitkan oleh Kementerian dalam Negeri, tujuanya untuk mensosialisasikan SKBG.
 B.   Landasan filosofis
Pasal 28 huruf h, UUD 45, mengamanatkan pemerintah wajib memenuhi kebutuhan rakyatnya atas tempat tinggal yang layak, namun tujuan mulia itu sampai saat ini belum dapat dipenuhi , apalagi bagi pemenuhan kebutuhan rumah MBR di perkotaan. Hal tersebut antara lain disebabkan karena sulitnya MBR untuk menjangkau daya beli tanah diperkotaan yang terus melambung, sedang UU Rumah Susun lama hanya mewadahi pemilikan rumah susun sekaligus pemilikan tanah bersamanya  dengan cara beli.
Dalam UU rumah susun yang baru ini, SKBG dipersiapkan untuk MBR yang harus mendapatkan rumah, meskipun dia tidak mampu membeli tanahnya, namun cukup menyewa barang milik negara berupa tanah atau tanah wakaf yang tidak dimanfaatkan secara maksimal  dengan harga murah yang ditetapkan oleh pemerintah, dan tidak menyimpang dari UU sektoral lainnya yang mengatur BMN dan tanah wakaf, serta tidak menyimpang dari tujuan wakaf itu sendiri untuk kemaslahatan umat sesuai sariah islam.
Diatur pula dalam UU Rusun yang baru bahwa pemilik SKBG juga dapat mengalihkan haknya dengan mendaftarkan di instansi yang berwenang dan dapat menjaminkan dengan lembaga fidusia.
  1. C.   Landasan Yuridis
Pemahaman Azas Pemisahan Horizontal dalam Hukum Tanah Nasional kita
Didalam UUPA pasal 5 jelas dicantumkan bahwa hukum tanah nasional kita berdasarkan hukum adat, yang pada dasarnya mengatur azas pemisahan horizontal yaitu pemilikan hak atas tanah berbeda dengan pemilikan bangunan atau tanaman yang ada diatasnya yang bukan milik dari pemilik hak atas tanah.
Dalam mengadopsi kebutuhan hukum bahwa pemilik tanah bisa saja bukan pemilik bangunan atau tanaman diatasnya, maka hukum tanah kita yang menganut hukum adat, mengatur adanya azas pemisahan horinzontal yaitu pemisahan pemilikan  tanah dengan pemilikan bangunan atau tanaman diatas tanah , tetapi hubungan hukum keduanya harus jelas terdaftar  dan keduanya harus mempunyai tanda bukti hak kepemilikannya
Memahami sistem atau struktur pemilikan hak atas tanah tersebut diatas, maka UUPA kita  telah mengatur struktur hak milik didalam Pasal 20, yaitu pengaturan hak milik atas tanah  sebagai hak terkuat, terpenuh dan turun temurun, sebagai hak dasar yang mandiri atau populer dengan sebutan hak primer.  Kemudian diatur Hak Guna Bangunan didalam Pasal 35, yang dimaknai sebagai hak untuk mendirikan bangunan diatas tanah milik orang lain. Maka didalam praktek pendaftaran tanah telah banyak didaftar hak guna bangunan diatas tanah hak milik orang lain tersebut. Kemudian pengaturan Hak Pakai dalam Pasal 41 UUPA dipahami sebagai hak untuk menggunakan hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau milik orang lain dengan jangka waktu tertentu serta hak sewa didalam Pasal 44 UUPA dipahami sebagai hak mempergunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa.
Demikian halnya dengan pemahaman azas pemisahan horizontal dalam UU Hak Tanggungan, bahwa hak tanggungan dapat dibebankan atas tanahnya saja atau berikut bangunannya, bila bangunan bukan milik yang punya tanah, maka pemilik bangunan harus ikut serta menandatangi perjanjian utang piutang, bila bangunanya ikut dijaminkan
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka struktur azas pemisahan horizontal dalam hukum adat telah diadopsi dan diatur secara normatif di dalam UUPA,. Sehingga  sejak 50 tahun lalu kita terus memahami bahwa penerapannya sudah diatur dalam Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Pakai (HP) dan Hak Sewa diatas tanah Hak Milik atau diatas tanah negara. Apabila akan mengatur azas pemisahan horizontal sebagai lembaga hukum baru, yang sekiranya tidak termasuk dalam strukur UUPA tersebut, maka harus dibuat dalam UU dan harus sinkron dengan muatan UUPA.
Oleh karena itu UU Rumah Susun memperkenalkan lembaga hukum baru yaitu hak pemilikan atas bangunan diatas tanah sewa , tetapi tanah sewa tersebut  bukan yang dimaksud  dalam pasal 44 UUPA, karena disana hanya diatur masa sewa 5 tahun dan bukan diperuntukan khusus bagi sewa tanah BMN dan sewa tanah wakaf.  UU Rusun mengatur khusus ( lex spesialis )  bagi MBR dapat memiliki rumah tanpa memiliki tanah , namun sekedar sewa dari tanah sewa  tanah BMN atau tanah wakaf, dengan  masa sewanya 60 tahun.
Pada awalnya memang sulit dipahami  , akan tetapi diskusi yang sangat panjang dalam Rapat Panitia Kerja Penyusunan Rancangan Undang-Undang Rusun tersebut terus memahamkan bahwa pemerintah wajib memenuhi kebutuhan rumah bagi MBR meskipun MBR tersbut tidak mampu membeli tanahnya.
D.   Mengatasi Backlog  Pembangunan Perumahan dan Permukiman
Dalam rangka memenuhi kebutuhan perumahan terutama bagi MBR , pada tahun 2006 Pemerintah mencanangkan program pembangunan sejuta rumah dan seributower rumah susun, Namun kendala utama justru terletak pada penyediaan tanah bagi pembangunan rumah dan rumah susun termasuk peningkatan kwalitas permukiman sangat sulitdilakukan, apalagi  bagi MBR yang tinggal diperkotaan . Disisi lain sangat ironis, tanah-tanah asset pemerintah, yang disebut dengan Barang Milik Negara berupa tanah, serta tanah wakaf  yang letaknya diperkotaan masih banyak yang tidur dan tidak optimal didayagunakan dan dimanfaatkan . Oleh sebab itu UU Rusun ini mengatur berbagai bentuk penyediaan tanah bagi rumah susun,  salah satunya adalah dengan mendayagunakan tanah BMN dan tanah wakaf, karena bentuk pendayagunaan Tanah BMN dan tanah wakaf menyentuh peraturan Undang-Undang sektor lainnya, yaitu Undang-Undang Perbendaharaan Negara dan Undang-Undang Wakaf maka pendayagunaan/ pemanfaatan  tanah dimaksud bagi pembangunan untuk Rumah Susun harus dilakukan sesuai ketentuan yang mengatur tanah BMN atau tanah wakaf hal tersebut dinyatakan /  diatur pula dalam UU Rumah Susun , bahwa pemanfaatan tanah BMN/BMD harus esuai dengan ketentuan PUU yang berlaku.
E.    Pengaturan penyediaan tanah dalam UU Rumah Susun, antara lain melalui pendayagunaan tanah BMN dan tanah Wakaf.
Dalam Undang-Undang Rumah Susun yang baru, telah diatur berbagai tata cara penyediaan tanah bagi pembangunan rumah susun yaitu tercantum dalam Pasal 22, sebagai berikut:
  1. Pemberian hak atas tanah terhadap tanah yang langsung dikuasai negara;
  2. Konsolidasi tanah oleh pemilik tanah;
  3. Peralihan atau pelepasan hak atas tanah oleh pemegang hak atas tanah
  4. Pemanfaatan barang milik negara atau barang milik daerah berupa tanah
  5. Pendayagunaan tanah wakaf
  6. Pendayagunaan sebagian tanah Negara bekas tanah terlantar dan/atau
  7. Pengadaan tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum

F.    Pemanfaatan dan pemindahtanganan tanah Barang Milik Negara atau Milik Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
      Dalam UU Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara Pasal 44 dan 45 junto PP 6 tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara atau Daerah Pasal 1, Pasal 17, Pasal 19 , mengatur tatacara pemanfaatan barang milik  negara berupa tanah dengan cara Bangun guna serah atau Bangun serah guna , yang pada intinya adalah bentuk pemanfaat tanah BMN/BMD oleh pihak lain dengan cara mendirikan bangunan dan atau sarana berikut fasilitasnya, kemudian didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang telah disepakati, untuk selanjutnya diserahkan kembali tanah beserta bangunan dan atau sarana berikut fasilitasnya setelah berakhir jangka waktunya.
      Hal-hal  yang diatur dalam UU nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaraan Negara tersebut diatas sejalan dengan pengaturan di dalam UU Rumah Susun yang akan diuraikan pada huruf H dibawah ini.


G.   Pemanfaatan dan pendayagunaan tanah wakaf
Dalam UU nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf Pasal 22, 42, 43 dan 49 mengatur bahwa :
  1. Harta benda wakaf dapat diperuntukanbagi kemajuan dan peningkatan ekonomi umat, kemajuan kesejahteraan umum lainya yang tidak bertentangan dengan syariah dan peraturan perundang undangan , dalam hal ini pembangunan rumah susun merupakan program kegiatan memajukan kesejahteraan umum bagi MBR.
  2. Nazhir wajib mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan , fungsi dan peruntukanya.
  3. Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf dilakukan sesuai dengan prinsip syariah dan secara produktif.
  4. Badan Wakaf Indonesia ( BWI ) memberikan persetujuan dan atau izin atas perubahan peruntukan dan status benda wakaf
           Pemanfaatan dan pendayagunaan tanah wakaf harus sesuai ikrar wakaf, apabila ikrar wakaf tidak diperuntukan bagi pembangunan rumah susun maka perubahan peruntukan menjadi rumah susun selain harus sesuai dengan tata ruang kota juga mendapatkan persetujuan dari  BWI dan Menteri Agama sesuai ketentuan perundang-undangan .
H.   SKBG diterbitkan untuk jaminan kepastian hukum pemilikan bangunan gedung bagi MBR yang tidak mampu membeli tanah , dan tanahnya sekedar menyewa dari  tanah wakaf atau tanah BMN berdasarkan akta perjanjian Pemanfaatan dan pendayagunaan.
Undang-Undang Rumah Susun mengatur substansi pemanfaatan dan pendayagunaan tanah wakaf atau tanah BMN/ BMD  dalam Pasal 19 sampai dengan Pasal 21 .
  1. Agar pemilik tanah ( Pemerintah/ Pemda/ nazdir ) dan penyewa ( pelaku pembangunan ) mendapatkan jeminan kepastian hukum, cara sewa tersebut dilakukan dengan pembuatan akta notarial Pasal 21 (1)
  2. Dalam rangka pencatatan  pendaftaran tanah, untuk jaminan kepastian hukum maka tanah BMN atau tanah wakaf tersebut harus diterbitkan sertipikatnya terlebih dahulu,  kemudian akta perjanjian yang dibuat dihadapan pejabat yang berwenang tersebut dicatat dalam sertipikat dan buku tanahnya Pasal 19 ( 2)
  3. Pasal 21 ayat (2) Isi perjanjian sewa menyewa sekurang-kurangnya memuat :
    1. Hak dan kewajiban penyewa dan pemilik tanah;
    2. Jangka waktu sewa atas tanah;
    3. Kepastian pemilik tanah untuk mendapatkan pengembalian tanah pada akhir masa perjanjian sewa; dan
    4. Jaminan penyewa terhadap tanah yang dikembalikan tidak terdapat permasalahan fisik, administrasi dan hukum.
  4. Dalam Undang-Undang Rumah Susun juga diatur bahwa jangka waktu hak sewa tanah Barang Milik Negara adalah 60 tahun , Pasal 21 (3)
5. Penetapan tarif sewa tanah dilakukan oleh Pemerintah untuk menjamin keterjangkauan harga jual sarusun umum bagi Masyarakat berpenghasilan Rendah (MBR).
  1. Dalam hal tanah bersamanya adalah menyewa tanah BMN atau tanah wakaf, maka tidak diterbitkan SHM Sarusun, karena sistem kepemilikan SHM mengandung kepemilikan bersama terhadap tanahnya, yaitu terkandung dalam besarnya Nilai Perbandingan Proporsional (NPP), untuk itu diterbitkan SKBG, didalam SKBG tidak terkandung pemilikan atas tanah, karena tanahnya tetap menjadi tanah wakaf atau tanah BMN pemilik SKBG hanya menyewa. Hal tersebut tetap menjamin sahnya tanah bersama , namun tidak dimiliki tetapi disewa,dimana perbuatan hukum sewa menyewa tersebut dicata dalam buku tanah dan sertipikat tanah BMN/BMD atau tanah wakaf. 
              I.      Apakah SKBG menyalahi sistem hukum tanah nasional /  UUPA
Sebagaimana diuraikan diatas , bahwa pasal 5 UUPA melandasi hukum tanah nasional kita berdasarkan hukum adat, yang didalamnya mengatur azas pemisahan horizontal, dimana pemilik tanah tidak serta merta menjadi pemilik bangunan, artinya boleh seseorangan atau badan hukum mendirikan bangunan diatas tanah yang bukan miliknya atau tanah orang lain, berdasarkan kesepakatan/ perjanjian  dengan pemilik tanah. Nah UU Rusun mengatur hal tersebut dimana rumah susun itu didirikan diatas tanah BMN/BMD atau tanah wakaf, dengan perjanjian sewa menyewa.
    1. Mengapa  tidak memakai lembaga hak sewa atas tanah sebagaimana pasal 44 UUPA ?, karena waktu sewa tanah dalam hak sewa tersebut hanya 5 tahun, sedangkan rumah susun bagi MBR membutuhkan waktu sewa lebih lama , maka diatur dalam UU Rumah Susun ini waktu sewa 60 tahun .
    2. Mengapa tidak memakai lembaga HGB diats tanah BMN/ MBD atau tanah wakaf ?, karena MBR tidak mampu membeli tanah dengan HGB yang harganya sangat mahal, sebagaimana HGB diatas HPL, juga karena diatas tanah wakaf tidak mungkin diterbitkan HGB.
    3. Mengapa tidak dilepaskan saja tanah BMN/BMD tersebut?, hal ini justru lebih sulit prosesnya , sementara pemanfataan pendayagunaan tanah BMN/BMD justru diatur dalam UU nomor 1 tahun 2004, tentang Perbendaharaan negara, dan tanah wakaf dilarang untuk dilepaskan.
    4. Mengingat SKBG didalamnya mengandung hak dan kewajiban pemegang haknya, maka pengaturan SKBG diatur dalam Undang-Undang Rumah Susun.
    J  Pembatasandalam penerbitan SKBG
      1. SKBG hanya diberikan kepada pemilik rumah susun khusus atau rumah susun umum yang berdiri tanah sewa atas tanah Barang Milik Negara atau tanah wakaf.
      2. SKBG tidak diberikan kepada pemilik bangunan rumah susun yang telah memiliki sertipikat Hak Milik Atas satuan Rumah Susun
      3. SKBG tidak diberikan kepada pemilik rumah susun yang berdiri diatas tanah dengan status Hak milik , Hak Guna Bangunan, Hak pakai, karena dengan status hak atas tanah tersebut maka yang diterbitkan adalah bukti pemilikan satuan Rumah Susun berikut tanah bersamanya yang terkandung dalam NPP yaitu SHM Sarusun
      J.    Kesiapan melaksanakan penerbitan SKBG
        1. Arti atau makna SKBG
Sebagai tanda bukti kepemilikan atas Satuan Rumah Susun di atas barang milik negara atau daerah berupa tanah atau tanah wakaf dengan cara sewa, sehingga pemilik SKBG tidak memiliki hak atas tanah.
  1. Dalam pasal 48 ayat (2) bahwa SKBG satuan rumah susun merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan yang terdiri atas :
    1. Salinan buku bangunan gedung;
    2. Salinan surat perjanjian sewa tanah;
    3. Gambar denah lantai pada tingakat rumah susun yang bersangkutan yang menunjukkan sarusun yang dimiliki;dan
    4. Pertelaan mengenai besarnya bagian hak atas bagian bersama dan benda bersama yang bersangkutan.
  2. Pendaftaran SKBG
SKBG diterbitkan oleh Instansi teknis kabupaten/kota.
  1. Dalam pasal 48 ayat (4) bahwa SKBG satuan rumah susun dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani fidusia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Menunggu PP
Dalam pasal 49 bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai SKBG satuan rumah susun dan tata cara penerbitannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
  1. Dalam rangka menunggu terbitnya SKBG sosialisasi kepada Pemda-pemda diseluruh indonesia harus terus dilakukan
  2. Pokok pikiran dalam RPP SGBG
    1. Memperjelas bahwa SKBG adalah sertipikat kepemilikan bangunan gedung tanpa tanah, karena tanahnya sekedar sewa dari tanah MBN/BMD atau tanah wakaf;
    2. Pelaksanaan sewa berdasarkan akta perjanjian yang dibuat oleh pejabat yang berwenang, harus dicatat dalam buku tanah dan sertipikat hak atas tanah;
    3. RPP SKBG juga mengatur pertelaan atas tanah bersamanya yang disewa tadi, bagian bersama dan benda bersama, karena hal ini mendasari atas lahirnya NPP yang mengandung hak dan kewajiban pemilik SKBG atas hak bersama tersebut;
    4. Pengaturan atas bentuk dan tatacara pembuatan buku bangunan gedung serta bentuk dan tatacara pembuatan SKBG itu sendiri
    5. Pengaturan mengenai sistem pendataftaran pertama, peralihan hak, dan pembebanan SKBG
    6. Mengatur mekanisme penyel;esaian sengketa pemilikan KKBG

    K. Bagaimana dengan KBKBG dalam UU Bangunan Gedung
Kita bersabar sedikit untuk memikirkan hal tersebut, karena makna SKBG ini ternyata berbeda, SKBG ini khusus disediakan bagi MBR
          L.    Penutup
Demikian tulisan disajikan, kritik dan saran sebagai sumbangan pemikiran dari berbagai kalangan dalam rangka penyusunan RPP tentu sangat diharapkan.

1 komentar:

  1. Bagaimana dengan kepemilikan satuan bangunan gedung tidak untuk hunian? Misal untuk tempat usaha (kantor atau berdagang). Apakah juga memiliki bagian bersama dan mbentuk perhimpunan utk mengelola bagian bersama tersebut?
    Terima kasih

    BalasHapus