Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Intisari:
Cacat hukum
dapat diartikan suatu perjanjian, kebijakan atau prosedur yang tidak
sesuai dengan hukum yang berlaku, sehingga dikatakan cacat dan tidak
mengikat secara hukum.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
|
Ulasan:
Cacat hukum
dapat diartikan suatu perjanjian, kebijakan atau prosedur yang tidak
sesuai dengan hukum yang berlaku, sehingga dikatakan cacat secara hukum.
Contohnya, adalah saat pemilihan pimpinan KPK November 2011 lalu,
Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) milik Abraham Samad
dinyatakan cacat secara formil karena menandatangani formulir surat kuasa yang salah. Lebih jauh, simak artikel Laporan Kekayaan Tiga Capim Cacat Hukum. Demikian antara lain yang dijelaskan dalam artikel Tentang RV, HIR, RBG, AB dan Keberlakuan Perpres No. 68/2005.
Dalam
konteks suatu putusan pengadilan, cacat hukum ini dikenal dengan
istilah cacat formil. Cacat formil ini sehubungan dengan putusan yang
menyatakan gugatan tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard). Putusan niet ontvankelijke verklaard atau yang biasa disebut sebagai putusan NO merupakan putusan yang menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima karena mengandung cacat formil. M. Yahya Harahap dalam bukunya Hukum Acara Perdata menjelaskan bahwa berbagai macam cacat formil yang mungkin melekat pada gugatan, antara lain (hal. 811):
1. Gugatan yang ditandatangani kuasa berdasarkan surat kuasa yang tidak memenuhi syarat yang digariskan Pasal 123 ayat (1) Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (Herziene Indlandsch Reglement);
2. Gugatan tidak memiliki dasar hukum;
3. Gugatan error in persona dalam bentuk diskualifikasi atau plurium litis consortium;
4. Gugatan mengandung cacat obscuur libel atau melanggar yurisdiksi (kompetensi) absolut atau relatif, dan sebagainya.
Penjelasan lebih lanjut tentang putusan NO dapat Anda simak dalam artikel Arti Putusan Niet Ontvankelijke Verklaard (NO).
Dalam laman legal-dictionary, cacat hukum yang dalam bahasa Inggris disebut dengan Legal Defect memiliki arti:
“That which is subject to a defect is missing a requisite element and, therefore, is not legally binding.
Defective Service of Process, for example, is service that does not
comply with a procedural or jurisdictional requirement. A defective will
is one that has not been properly drawn up, has been obtained by unlawful means, or does not comply with a particular law.
In some cases, however, defects can be cured; for example, defective
service of process can be cured by the service of an amended complaint.”
Di samping itu, arti defect menurut Black’s Law Dictionary 9th Edition adalah:
“An imperfection or shortcoming, esp. in a part that is essential to the operation or safety of a product.”
Jadi, cacat hukum dapat diartikan sebagai suatu ketidaksempuraan atau ketidaklengkapan hukum, baik suatu peraturan, perjanjian, kebijakan,
atau suatu hal lainnya. Hal ini disebabkan karena tidak sesuai dengan
hukum sehingga tidak mengikat secara hukum. Dalam suatu contoh yang
diberikan oleh Black’s Law Dictionary, cacat hukum ini tidak hanya dimaksudkan untuk suatu perjanjian saja, tetapi bisa juga ditujukan untuk keamanan suatu produk.
Contoh suatu keputusan yang dinilai cacat hukum adalah Keputusan Presiden Nomor 87 tahun 2013 yang dibatalkan melalui Putusan Pengadilan TUNNomor 139/G2013/PTUN-JKT. Berdasarkan
putusan tersebut antara lain diketahui bahwa Keppres yang pada intinya
mengangkat Patrialis Akbar dan Maria Farida ini dinilai cacat hukum
karena bertentangan dengan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi yang
mensyaratkan pemilihan hakim konstitusi harus transparan dan
partisipatif. Selengkapnya mengenai putusan ini dapat Anda simak dalam
artikel PTUN Batalkan Keppres Pengangkatan Hakim MK dan YLBHI dan ICW 'Kalahkan' Presiden di PTUN Jakarta.
Namun, hingga artikel ini diturunkan, putusan PTUN itu belum berkekuatan hukum. Kasus ini terakhir diputus pada tahap banding melalui Putusan 55/B/2014/PT.TUN.JKT. Majelis
hakim PTTUN DKI Jakarta menerima eksepsi Patrialis selaku tergugat
intervensi dengan menyatakan bahwa gugatan aktivis LSM itu dinyatakan
tidak terima. Namun, Kuasa hukum penggugat Bahrain menyatakan akan
segera mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) atas putusan ini.
Selengkapnya mengenai kasasi yang akan diajukan oleh penggugat dapat
Anda simak dalam artikel PTTUN Terima Eksepsi Patrialis, LSM Akan Kasasi.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
1. Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (Herziene Indlandsch Reglement) Staatsblad Nomor 44 Tahun 1941;
2. Keputusan Presiden Nomor 87 tahun 2013.
Putusan:
Referensi:
2. Black’s Law Dictionary 9th Edition.
Sumber : hukumonline
Tidak ada komentar:
Posting Komentar