Jumat, 31 Agustus 2012

RUU Perbankan hanya tambal sulam

RUU Perbankan: Hanya Tambal Sulam

RUU perbankan, yang merupakan inisiatif DPR ini, dan terkesan hanya sekadar comot sana comot sini dan mirip sebuah peraturan pemerintah ini setidaknya perlu “diistirahatkan” sementara untuk mendapat masukan dari para stakeholder perbankan. Eko B. Supriyanto
Draf atau rancangan undang-undang (RUU) perbankan sudah beredar di kalangan perbankan. Isinya masih banyak tumpang tindih dan terkesan hanya comot sana, comot sini.
Ibaratnya hanya copy paste dari UU perbankan yang lama dengan hanya mengganti kata-kata “Bank Indonesia (BI)” dengan kata-kata “Otoritas Jasa Keuangan (OJK)”.

Juga banyak mencomot dari banyak peraturan BI (PBI). RUU perbankan yang merupakan inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) ini terkesan seperti mengejar setoran atas target produksi UU.
Sebagai perbandingan, UU Perbankan Tahun 1992 dan 1998 dibuat lebih ringkas dengan hanya 60 pasal, tapi RUU perbankan yang baru mencakup 109 pasal dengan lebih rinci, terutama bagian tentang direksi, komisaris, rahasia bank, mediasi dan tata kelola serta prinsip kehati-hatian yang lebih mirip aturan yang tertuang dalam PBI.
Satu sisi bisa jadi akan lebih detail, tapi sisi lain akan menimbulkan banyak benturan dengan UU yang lain, misalnya tentang badan hukum bank.
Dalam RUU perbankan yang baru, yang diperbolehkan memiliki bank harus berbadan hukum perseroan terbatas (PT). Padahal, dalam UU perbankan sebelumnya, koperasi, PT, dan perusahaan daerah (PD) diperbolehkan memiliki bank.
Kalangan perbankan pun merasa perlu mencermati RUU perbankan yang baru ini karena merekalah yang paling terkena. Kalangan perbankan setidaknya menyarankan, sebelum membuat RUU perbankan perlu ada studi akademis yang menyeluruh dan komprehensif yang dilakukan oleh lembaga yang kredibel dan berintegritas.
Harus diakui bahwa UU perbankan ini harus direvisi karena selain sudah tidak bisa mengakomodasi bisnis perbankan yang mulai berubah akibat kemajuan teknologi informasi (TI), sekarang telah lahir OJK—yang juga perlu diakomodasi dalam UU perbankan yang baru.
Memang, harus diakui, rumusan pasal demi pasal dalam RUU perbankan yang baru lebih detail dan sangat teknis seperti dalam surat edaran BI (SE BI) atau PBI. Kendati demikian, terus terang, sebenarnya UU perbankan yang lama lebih sistematis dan tidak membingungkan.
Jelas ini menimbulkan suatu kegalauan karena UU yang sifatnya landasan utama tidak sama dengan PBI yang sifatnya teknis.
Yang menarik dari RUU perbankan yang baru adalah tercantumnya kalimat dalam salah satu pasal, yang berbunyi “Perbankan Indonesia bertujuan mewujudkan perbankan yang efisien, sehat, dan stabil untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan lebih merata melalui pembiayaan murah, aman, dan terjangkau….” Kalimat ini tentu akan menimbulkan perdebatan yang serius, terutama menyangkut pembiayaan murah dan terjangkau itu seperti apa.
Apakah suku bunganya harus sama dengan suku bunga perbankan di luar negeri atau murahnya siapa. Lalu, bagaimana dengan terjangkau. Apa ukurannya.
Nah, itulah, antara lain, yang akan menimbulkan pro dan kontra. Salah satu pasal yang lebih menarik adalah menyangkut kepemilikan. Dalam RUU perbankan yang baru ini detail kepemilikan akan diatur oleh OJK. Namun, dalam RUU perbankan menyangkut kepemilikan, setiap orang hanya boleh menjadi pemegang saham pengendali di satu bank.
Selanjutnya, mengenai saham pengendali akan ditentukan lebih lanjut oleh OJK. Pertanyaannya, bagaimana dengan kebijakan BI tentang kepemilikan bank yang baru keluar pada media Juli 2012 lewat PBI Nomor 14/8/PBI/2012 tentang kepemilikan bank?
Rinciannya, 40% untuk lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan bukan bank, 30% untuk lembaga bukan keuangan, dan 20% untuk pemegang saham perseorangan serta 25% untuk syariah.
Di sinilah akan terjadi benturan. Di RUU perbankan tidak tercantum, di PBI tercantum, dan di peraturan pemerintah (PP) masih diperbolehkan pemegang saham memiliki 99,9%. Juga, nanti dengan OJK jika lembaga tersebut tidak mentah-mentah mengambil PBI menyangkut kepemilikan dari BI.
Hal lain yang akan terkena RUU ini adalah bank pembangunan daerah (BPD)  dan bank perkreditan rakyat (BPR), saat ini masih ada BPD yang berbadan hukum PD. Jadi, BPD dan BPR yang masih berbadan hukum sebaiknya memang harus mengubah statusnya menjadi PT. Lebih fleksibel, kalau tidak, ya segera dilepas sebagian kepemilikannya ke pihak swasta untuk menambah modal.
RUU perbankan, yang merupakan inisiatif DPR ini, dan terkesan hanya sekadar comot sana comot sini dan mirip sebuah peraturan pemerintah ini setidaknya perlu “diistirahatkan” sementara untuk mendapat masukan dari para stakeholder perbankan.
Perlu dibuat studi akademis yang lebih komprehensif dan mendengar masukan yang lebih memadai. Sebab, jangan sampai DPR kejar setoran untuk memenuhi jumlah UU yang diproduksi olehnya. Namun, juga UU ini harus bisa menjadi pelindung bagi perbankan dan pertumbuhan ekonomi serta dapat mendorong terciptanya lapangan kerja.
Tentu DPR akan lebih arif jika banyak mendengar dari pihak lain. Pembahasan RUU perbankan ini masih memerlukan waktu lama. Perlu kehati-hatian dan lebih banyak mengkaji—karena krisis ada di depan mata. (*)
Penulis adalah Penanggung Jawab/Wakil Pemimpin Redaksi Infobank
sumber infobanknews.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar